Ahlan wa Sahlan

Anda berada dalam ruang pendidikan, pembelajaran, dan kebahasa-Araban. Blog ini menjadi tempat sharing pengalaman dan pengetahuan tentang apa saja yang terkait dengan pendidikan, pembelajaran, dan bahasa Arab. Berikan komentar dan argumentasi anda tentang topik-topik yang aktual dan menarik untuk dikaji. Semoga pendidikan kita dapat lebih maju dan berkualitas.

Saturday, January 17, 2009

Implikasi UU BHP terhadap Pengembangan Madrasah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Dasar Pemikiran

Otonomi daerah telah lama digulirkan oleh pemerintah. Kelengkapan regulasi juga telah dibuat dengan bentuk undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah (PP). Namun demikian dalam realitasnya di masyarakat masih ditemukan banyak permasalahan yang belum dapat teratasi. Berbagai efek negatif juga bermunculan akibat adanya otonomi daerah, seperti tumbuh suburnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tingkat daerah. Proses pilkada yang masih terus saja menimbulkan konflik horizontal, dan berbagai penyalah gunaan kekuasaan di tingkat daerah. Hal ini juga terjadi dalam dunia pendidikan seperti dalam proses pengangkatan kepala sekolah atau proses mutasi pegawai yang sarat dengan nuansa politis.

Desentralisasi pendidikan telah dilakukan terutama di tingkat dasar dan menengah. Namun demikian proses desentralisasi pendidikan ini belum dapat berjalan secara baik. Salah satu sebabnya adalah karena kebijakan pendidikan secara nasional masih ditangani secara terpisah oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Dengan dualisme kebijakan tersebut berakibat pada perbedaan perlakuan terhadap implementasi otonomi daerah. Madrasah yang berada di bawah Departemen Agama sampai saat ini masih menganut sistem sentralistik. Akibatnya banyak persoalan di lapangan yang muncul akibat perbedaan kebijakan tersebut.

Berbagai permasalahan di madrasah seolah menjadi persoalan mereka sendiri. Hal ini dikarenakan pemerintah pusat belum mampu berbuat banyak untuk pengembangan madrasah, sementara itu pemerintah daerah tidak mau ikut campur dalam menangani madrasah karena merasa bukan wilayahnya. Pada saat persoalan pengembangan madrasah tertangani, sekarang telah muncul Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi. Dengan undang-undang tersebut, tentu saja sistem manajemen madrasah akan mengalami perubahan. Namun demikian masih perlu dikaji secara mendalam tentang peluang pengembangan madrasah tersebut. Makalah ini mencoba untuk memberikan kajian tersebut secara singkat.

B. Permasalahan

1. Bagaimana konsep mendasar UU BHP dan otonomi daerah dalam konteks desentralisasi pendidikan?

2. Bagaimana posisi madrasah dalam dalam konteks UU BHP dan otonomi daerah?

3. Bagaimana alternatif pengembangan madrasah yang ideal setelah adanya UU BHP?

C. Sistematika Pembahasan

Untuk menjawab tiga permasalahan tersebut, maka dalam makalah ini dikaji secara sistematis dimulai dari pendahuluan yang berisi dasar pemikiran, permasalahan, dan sistematika pembahasan. Pada bab kedua berisi kajian terhadap konsep otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Kedua konsep tersebut akan dikaji dari aspek filosofis, historis, dan keterkaitan desentralisasi pendidikan dengan BHP.

Pada bagian berikutnya dibahas tentang posisi madrasah dalam konteks UU BHP dan otonomi daerah. Kajian ini menyoroti madrasah sebagai “korban” dualisme kebijakan, dan desentralisasi manajemen madrasah sebagai keniscayaan. Pada bagian selanjutnya dikaji tentang madrasah menuju BHP, dan pada bab ketiga disampaikan kesimpulan dan penutup.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan

1. Landasan Filosofis

Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di bidang pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen, John Codd, dan Anne-Marie O’Neil, kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi, bagi negara-negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi (H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, 2008: 267). Lebih lanjut Tilaar mengutip pendapat Olsen dkk (2000: 1-2) yang mengatakan: “… education policy in the twenty-first century is the key to global security, sustainability and survival…education policies are central to such global mission…”. Karena kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik, maka kebijakan pendidikan harus sejalan dengan kebijakan publik.

UUD 1945 pasal 31 ayat 4 menyatakan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara, dengan demikian sudah semestinya jika pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah. Fakta sejarah Indonesia menunjukkan bahwa realisasi dari tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan ini belum dapat dilakukan secara penuh. Salah satunya disebabkan karena sangat luasnya wilayah Indonesia dengan kondisi sosio-kultural dan demografisnya yang sangat beragam. Belum lagi dengan jumlah penduduk yang sangat besar, sementara prioritas pemerintah dalam perencanaan anggaran belum memprioritaskan pada pendidikan di urutan pertama.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan pemerintah adalah melakukan pelimpahan wewenang dan pembagian tanggung jawab pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Apalagi otonomi daerah telah digulirkan, sehingga kebijakan pengelolaan pendidikan juga mengiringinya dengan sistem desentralisasi meskipun tidak sepenuhnya. Menurut Tilaar (2002: 20) desentralisasi pendidikan sangat urgen karena berkaitan dengan tiga hal, yaitu; (a) pembangunan masyarakat demokrasi, (b) pengembangan social capital, dan (c) peningkatan daya saing bangsa.

2. Perubahan Paradigma Manajemen Pendidikan; Sentralistik - Desentralistik

Dalam perspektif sejarah, di Indonesia telah beberapa kali dilakukan perubahan paradigma manajemen pendidikan antara sentralisasi dan desentralisasi. PP No. 65 tahun 1951 telah memberikan sebagian wewenan kepada daerah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar, dan hal ini mendapat wadahnya dalam UU No. 5 tahun 1974 mengenai pemerintahan di daerah yang menjurus kepada otonomi daerah. Sebaliknya PP No. 28 tahun 1990 kembali cenderung ke arah sentralistik. Hal ini dikarenakan PP tersebut keluar dari UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional (H.A.R. Tilaar, 2001: 31).

Undang-undang tentang sisdiknas tersebut diperbaharui dengan keluarnya UU tahun 2003, kemudian dikuatkan oleh UU No. 32 tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum itu sebenarnya telah dikeluarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dan PP no. 25 tahun 2000 tentang pelimpahan wewenang pemerintahan dan propinsi sebagai daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam PP tersebut disebutkan adanya 7 hal yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, yaitu; (1) standar kompetensi siswa dan pengaturan kurikulum serta penilaian secara nasional, (2) standar materi pelajaran pokok, (3) gelar akadeik, (4) biaya penyelenggaraan pendidikan, (5) penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa/mahasiswa, (6) benda cagar budaya, dan (7) kalender akademik (E. Mulyasa, 2002: 194-214). Kebijakan terakhir yang dikeluarkan pemerintah adalah UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang disahkan pada tanggal 17 Desember 2008. Meskipun demikian UU BHP ini masih menuai pro dan kontra serta belum dapat diterapkan karena belum dikeluarkan PP-nya.

Abdul Azis Wahab (2008: 290-291) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan desentralistik menjadikan kewenangan pemerintah (pusat) posisinya lebih besar dari pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar kriteria, dan prosedur, sedangkan kewenangan pelaksanaannya hanya terbatas pada kewenangan yang bertujuan; (a) mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara, dan (b) menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara. Lebih lanjut beliau mengutip pendapatnya Djam’an Satori (2000) bahwa tantangan yang perlu direspon dalam otonomi pengelolaan pendidikan daerah di kabupaten/kota adalah:

a. Menjamin layanan pendidikan sebagai investasi sosial dengan tetap memperhatikan bidang hasil pokok pengelolaan pendidikan.

b. Memposisikan pembangunan pendidikan secara sinergik dengan bidang lainnya.

c. Pengembangan kurikulum sesuai dengan kebutuhan daerah.

d. Pengelolaan sarana dan prasarana.

e. Menjamin dan meningkatkan profesionalesme pengelola pendidikan.

f. Kepemimpinan pendidikan.

g. Manjamin dan meningkatkan akuntabilitas publik.

h. Membangun struktur organisasi pendidikan yang fungsional yang manjamin kesatuan komando, kejelasan fungsi, efisiensi, serta kecepatan dan ketepatan layanan.

i. Membangun partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Sam M. Chan dan Tuti T. Sam (2005: 2) memberikan analisis bahwa sebenarnya banyak daerah di Indonesia yang belum siap untuk menerima berbagai kewenangan, termasuk bidang pendidikan. Beberapa alasannya adalah; (a) SDM yang belum memadai, (b) sarana dan prasarana yang belum tersedia, (c) PAD yang sangat rendah, (d) secara psikologis, mental mereka terhadap perubahan belum siap, dan (e) mereka gamang atau takut dengan upaya pembaharuan.

3. Desentralisasi Pendidikan dan BHP

Desentralisasi dapat diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah sehingga wewenang tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah, termasuk di dalamnya penentuan kebijakan perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan dan aparatnya (Moch. Idochi Anwar, 2004: 49). Lebih lanjut, beliau juga mengutip pendapat beberapa pakar. Ranis (1994) mengistilahkan desentralisasi dengan devolution, yaitu pemerintah pusat menyerahkan kekuasaan kepada pengambil keputusan di tingkat daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Varghese (1995) yang mengartikan desentralisasi sebagai devolution of power and authority untuk mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan.

Desentralisasi pendidikan adalah sistem manajeman untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan kepada kebinekaan. Hal ini tepat diterapkan di Indonesia yang memiliki potensi dan karakteristik antar daerah yang berbeda-beda. Meskipun demikian tidak berarti menciutkan substansi pendidikan menjadi bersifat lokal, sempit dna berorientasi primordial yang dapat menumbuhkan sentimen kedaerahan. Jadi desentralisasi lebih diorientasikan kepada pelimpahan wewenang dan kekuasaan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan mengambil keputusan sendiri dalam bidang pendidikan tetapi tetap mengacu kepada tujuan pendidikan nasional (Moch. Idochi Anwar, 2004: 50-51).

UU BHP yang sempat mengalami pembahasan cukup lama dan sarat dengan pro dan kontra, akhirnya telah disahkan pada tanggal 17 Desember 2008. UU BHP ini sebenarnya sebagai kelanjutan dari kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Hal ini terutama nampak dari kebijakan di bidang pembiayaan pendidikan. Dalam UU BHP, pembiayaan pendidikan ditanggung secara bersama oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dengan rambu-rambu prosentase yang telah ditetapkan.

Pemerintah sebagai yang bertanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan berusaha untuk melimpahkan sebagian tanggung jawabnya kepada pemerintah daerah. Hal ini wajar dilakukan karena kebijakan otonomi daerah telah lebih dahulu dilaksanakan. Artinya, pemerintah daerah telah memiliki anggaran sendiri yang salah satunya adalah untuk pembiayaan pendidikan. Dengan UU BHP ini, maka posisi pemerintah daerah dan pusat adalah share dalam pembiayaan pendidikan. Terlepas dari adanya ketidak seimbangan antar daerah dalam PAD-nya, bahwa kebijakan ini tidak berarti pemerintah ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya terhadap pendidikan, tetapi lebih pada upaya untuk melakukan regulasi di bidang pendidikan secara nasional sehingga tidak terjadi jurang pemisah yang terlalu dalam antara satu lembaga pendidikan dengan yang lain, antara satu daerah dengan daerah yang lain. Hal ini telah diatur secara rinci pada pasal 33 sampai 38.

B. Posisi Madrasah dalam Konteks UU BHP dan Otonomi Daerah

1. Madrasah sebagai “Korban” Dualisme Kebijakan

Kebijakan pendidikan di Indonesia sebenarnya masih dualistik, yaitu adanya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan Departemen Agama (Depag) yang sama-sama menangani pendidikan. Ironisnya, meskipun keduanya sama-sama menangani pendidikan, kebijakan yang diambil kurang berimbang dan seringkali berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi. Misalnya dalam penerapan desentralisasi pendidikan, pelaksanaan sertifikasi guru dan dosen, pembiayaan pendidikan, pembukaan program studi di perguruan tinggi, penerimaan pegawai, dan sebagainya.

Kebijakan desentralisasi pendidikan yang sudah dijalankan di Indonesia sampai saat ini sebenarnya baru pada lembaga pendidikan di bawah Departemen Pendidikan Nasional, yaitu mulai dari SD, SMP, SMA, dan SMK. Sementara untuk madrasah yang berada di bawah Departemen Agama masih sentralistik. Sedangkan untuk perguruan tinggi masih sama-sama sentralistik. Akibat dari ketidak samaan kebijakan di tingkat pendidikan dasar dan menengah tersebut mengakibatkan adanya perlakuan terhadap lembaga pendidikan yang tidak sama.

Salah satu contoh, ketika sekolah-sekolah yang berada di bawah Diknas menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, maka sekolah mendapatkan alokasi dana dari APBD yang dialokasikan mulai dari subsidi pengembangan fisik sampai dengan penggajian para tenaga pendidik dan kependidikan serta bantuan bagi para siswa. Bahkan beberapa daerah telah menerapkan sekolah gratis. Hal tersebut tidak dirasakan oleh madrasah dengan alasan tidak menjadi tanggung jawab pemda karena masih sentralistik. Hal tersebut juga berimbas pada proses pengangkatan pegawai yang masih sentralistik sehingga meskipun pada realitasnya madrasah sangat kekurangan tenaga pendidik, pemda tidak dapat memberikan solusi selama pemerintah pusat (Depag) tidak mengangkatnya. Akibatnya, banyak madrasah yang harus mengangkat tenaga pendidik honorer yang penggajiannya harus dialokasikan sendiri oleh sekolah. Kondisi seperti ini sangat kontras jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dan daerah.

Kebijakan tentang penyamaan antara madrasah dengan sekolah umum telah dikeluarkan sejak masa Menteri Pendidikan Malik Fajar. Dengan kebijakan tersebut berarti madrasah bukan lagi sekolah umum yang bercirikan Islam, sebagaimana konsep yang dilontarkan pada masa Menteri Agama Tarmidzi Taher (Muhaimin, 2003: 177), tetapi madrasah adalah sama dengan sekolah umum, hanya induknya saja yang berbeda, yaitu Depag dan Diknas. Kebijakan tersebut juga berlaku untuk perguruan tinggi. Namun demikian pada realitasnya masih terjadi dikotomi dan diskriminasi. Salah satu contoh, pada PTU dibuka program studi PGSD, dan pada PTAI dibuka program studi PGMI. Orientasi dari keduanya adalah sama-sama mendidik calon guru kelas. PTU membuka program studi pendidikan bahasa Inggris, dan PTAI membuka tadris bahasa Inggris yang keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mencetak para calon guru bahasa Inggris. Tetapi ternyata pada saat penerimaan CPNS terjadi diskriminasi, yaitu alimni PTAI tidak dapat mendaftar di sekolah umum, sedangkan alumni PTU dapat mendaftar di sekolah umum maupun madrasah, dan masih banyak contoh lain yang pada akhirnya lembaga pendidikan di bawah Depag-lah yang “dirugikan”.

2. Desentralisasi Manajemen Madrasah Sebagai Keniscayaan

UU BHP yang baru saja disahkan bisa jadi merupakan angin segar bagi madrasah. Dengan adanya pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan, bisa jadi akan mampu membuka peluang madrasah untuk mendapatkan tempat yang sama dengan sekolah umum lainnya di daerah. UU BHP telah mangamanatkan kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran bagi penyelenggaraan pendidikan dari setiap BHP. Hal tersebut berarti juga berlaku untuk madrasah apabila telah menjadi BHP.

Persoalan yang masih menjadi ganjalan adalah, keberadaan madrasah yang masih menjadi tanggung jawab Depag secara sentralistik. Dengan ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam pasal-pasal UU BHP, maka dapat dipahami bahwa pemberlakuan BHP tersebut secara otomatis akan menghilangkan sentralisasi pendidikan. Hal itu berarti madrasah yang telah manjadi BHP tidak lagi sentralistik tetapi desentralistik.

C. Pengembangan Madrasah Menuju BHP

Dalam UU BHP telah dirumuskan prinsip-prinsip pengelolaan pendidikan, yaitu pada pasal 4 ayat 2 yang meliputi;

1. Otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik,

2. Akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

3. Transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan,

4. Penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan,

5. Layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik,

6. Akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya,

7. Keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya,

8. Keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan,

9. Partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara.

Dengan sembilan prinsip yang harus dimiliki dalam pengelolaan BHP tersebut, maka madrasah harus mulai mempersiapkan diri. Kondisi riil madrasah secara umum pada saat ini masih membutuhkan banyak perbaikan. Persoalan-persoalan yang dihadapi cukup kompleks, terutama bagi madrasah swasta, yaitu mulai dari kekurangan SDM, kecilnya anggaran yang dimiliki, rendahnya kualitas input, rendahnya daya saing, dan sebagainya. Dengan kondisi yang ada pada saat ini, maka ada beberapa hal yang harus segera dilakukan oleh madrasah.

1. Reorientasi visi dan misi lembaga. Untuk melakukan reorientasi visi dan misi lembaga ini diawali dengan needs analysis untuk menemukan kebutuhan sebenarnya yang akan dipenuhi melalui lembaga pendidikan tersebut. Dengan demikian madrasah tidak hanya berorientasi pada upaya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dan diidealkan dari sudut pandangan pengelola, tetapi benar-benar berorientasi pada kebutuhan pelanggan.

2. Standarisasi mutu pembelajaran. Untuk mewujudkan mutu pembelajaran yang baik, perlu dibuat standarisasi yang meliputi standar proses dan standar isi. Dari standarisasi ini kemudian dikembangkan model dan strategi pembelajaran yang sesuai. Dengan standarisasi mutu pembelajaran ini, maka semua yang terlibat dalam proses pembelajaran harus tunduk dan berusaha untuk mencapai indikator mutu yang ditetapkan.

3. Penguatan SDM. Salah satu kelemahan utama dari madrasah adalah kurangnya SDM baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini disebabkan jumlah tenaga pendidikan yang berstatus PNS dengan kualifikasi yang memadai tidak sebanding dengan jumlah tenaga honorer yang dimiliki. Untuk itu proses penguatan SDM mutlak harus dilakukan dengan berbagai strategi yang disesuaikan dengan kondisi di lembaga pendidikan masing-masing. Orientasi dari penguatan SDM ini adalah penguatan kompetensi baik sebagai kepala sekolah, sebagai guru, sebagai tenaga administrasi, maupun tenaga kependidikan yang lain.

4. Penguatan jaringan dan komunikasi. Salah satu kekuatan madrasah yang sudah ada selama ini adalah adanya basis masyarakat yang kuat. Namun demikian akar masyarakat tersebut seolah mulai tercabut dengan pergeseran minat masyarakat kepada sekolah-sekolah umum atau sekolah umum yang bercirikan Islam. Apabila madrasah ingin berkembang, maka harus kembali menguatkan jaringan dengan masyarakat dan mengkomunikasikan (mempromosikan) madrasah kepada masyarakat secara intent. Salah satu penyebab kurang diminatinya madrasah adalah karena kurang pandainya dalam mengemas dan mempromosikannya.

5. Akuntabilitas publik. Kepercayaan masyarakat kepada lembaga pendidikan salah satunya didasarkan pada akuntabilitas sekolah tersebut. Madrasah sudah seharusnya telah memiliki tradisi akuntabilitas yang baik, karena madrasah sudah terbiasa melibatkan masyarakat. Apabila akuntabilitas publik atau proses transparansi tidak dilakukan, maka masyarakat yang ikut terlibat mengembangkan madrasah lambat laun akan mundur dan menjauh dari madrasah.

Apabila lima hal tersebut dapat dilakukan secara baik, maka secara otomatis akan dapat meningkatkan citra lembaga di tengah-tengah masyarakat. Pada akhirnya, madrasah tidak akan dipandang sebagai lembaga pendidikan kelas dua, tetapi memiliki daya saing yang kuat dan menjadi pilihan dari masyarakat. Dalam bentuk bagan dapat digambarkan sebagai berikut:















BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. UU BHP dan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan. Proses pembiayaan pendidikan yang merupakan tanggung jawab negara kemudian dirubah menjadi sharring antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat.

2. Dengan diundangkannya BHP, maka madrasah memiliki peluang untuk dapat berkembang sebagaimana lembaga pendidikan yang berada di bawah diknas. Konsekuensi dari UU BHP tersebut bagi madrasah adalah berubahnya sistem manajemen sentralistik menjadi desentralistik.

3. Untuk mengembangkan madrasah dalam menyongsong berubahnya menjadi BHP, maka perlu dilakukan lima langkah strategis, yaitu; reorientasi visi dan misi lembaga, standarisasi mutu pembelajaran, penguatan SDM, penguatan jaringan dan komunikasi, serta akuntabilitas publik.

B. Kata Penutup

Demikianlah pembahasan makalah yang disajikan secara singkat ini, mudah-mudahan dapat memberikan gambaran secara jelas tentang berbagai hal yang terkait dengan pengembangan madrasah dalam perspektif UU BHP dan otonomi daerah. Makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, untuk itu berbagai saran dan kritik sangat diharapkan untuk kesempurnaannya. Semoga madrasah akan tetap eksis dan tidak akan kehilangan jati dirinya di tengah persaingan yang semakin berat ini.

DAFTAR REFERENSI

Abdul Azis Wahab, 2008, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan; Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

E. Mulyasa, 2002, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Rosdakarya.

H.A.R. Tilaar, 2002, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta.

___________, 2001, Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan, cetakan kelima, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, 2008, Kebijakan Pendidikan; Pengantar untuk Memehami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhaimin, 2003, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, 2005, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Moch. Idochi Anwar, 2004, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Syaiful Sagala, 2007, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Syahrin Naishasy, 2006, Kebijakan Publik (Publik Policy), Menggapai Masyarakat Madani, Jogjakarta: Mida Pustaka.

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2008.

No comments:

Post a Comment