Ahlan wa Sahlan

Anda berada dalam ruang pendidikan, pembelajaran, dan kebahasa-Araban. Blog ini menjadi tempat sharing pengalaman dan pengetahuan tentang apa saja yang terkait dengan pendidikan, pembelajaran, dan bahasa Arab. Berikan komentar dan argumentasi anda tentang topik-topik yang aktual dan menarik untuk dikaji. Semoga pendidikan kita dapat lebih maju dan berkualitas.

Friday, December 18, 2009

Makna Hijrah dalam Konteks Kinerja

Hijrah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Islam. Hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah (Yatsrib) merupakan tonggak awal kejayaan Islam. Dikatakan demikian karena setelah peristiwa hijrah tersebut, Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banyak perintah agama yang diturunkan Allah SWT pasca hijrah tersebut.
Secara harfiyah, hijrah dimaknai dengan berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Sedangkan secara terminologi konteks hijrah dimaknai dengan pindahnya Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah. Pemaknaan hijrah kemudian berkembang dan berubah tidak hanya perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi lebih ditekankan pada makna perubahan (transformasi) dari satu kondisi yang kurang baik menuju kondisi yang lebih baik.
Dalam konteks kinerja, maka hijrah dapat dipahami dengan semangat untuk senantiasa berkreativitas, berinovasi, dan berusaha untuk selalu meningkatkan performance diri. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka keyakinan yang harus tetap kita pegang adalah sebagaimana firman Allah SWT; dalam QS: 9: 40 bahwa, di manapun kita berada, senantiasa dalam pengawasan dan lindungan Allah SWT. Kita harus yakin bahwa ketika kita sedang berdua maka yang ketiga adalah Allah SWT. Untuk itu dengan datangnya tahun baru hijriyah 1431 H ini, sudah sepantasnya kita memperbaharui semangat kita untuk terus berkreativitas, berinovasi, dan berjuang untuk mendapatkan hari esok yang lebih baik dari hari ini dan hari kemarin.
Semoga Allah SWT memberikan kekuatan dan bimbingan kepada kita semua, amin.

Thursday, November 26, 2009

khutbah idul adha 1430 H

NILAI-NILAI SPIRITUAL DAN EMOSIONAL

DALAM IBADAH KURBAN

KHUTBAH IDUL ADHA 1430 H

DI STAIN SURAKARTA

Oleh:

Imam Makruf, S.Ag., M.Pd.*

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الله أكبر 9×

اللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، وَصَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّجُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ وَلَوْكَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُنَافِقُوْنَ.

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ جَعَلَ الْيَوْمَ عِيْدًا لِلْمُسْلِمِيْنَ وَوَحَّدَنَا بِعِيْدِهِ كَأُمَّةٍ واَحِدَةٍ مِنْ غَيْرِ الأُمَمِ، وَنَشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ إِحْسَانِهِ وَهُوَ ذُواْلجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ. اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِيْ الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. اللَّهُمَّ صَلِ وَسَلِّمْ عَلَى حِبِيْبِنَا الْمُصْْطَفَى، الَّذِيْ بَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَأَدَّى اْلأَمَانَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعَاإِلَى اللهِ بِدَعْوَتِهِ، وَجَاهَدَ فيِ اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ. أَمَّا بَعْدُ: عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْفَازَ الْمُتَّقُوْنَ!

Jama'ah Shalat Idul Adha Rahimakumullah

Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kita dapat berkumpul di tempat ini dalam rangka menunaikan shalat Idul Adha berjama'ah. Ibadah tahunan seperti ini merupakan wujud dari syi'ar agama Islam dan bukti adanya ukhuwah islamiyah yang selalu kita bangun dalam kehidupan bermasyarakat. Pelaksanaan shalat Idul Adha ini diiringi dengan dikumandangkannya takbir, tahlil, dan tahmid yang merupakan ungkapan syukur dan pengagungan asma Allah SWT. Lantunan kalimah tayyibah tersebut merupakan bagian dari kelezatan ruhaniyah yang dapat dinikmati oleh orang-orang yang beriman.

Allahu akbar 3X walillahilhamd.

Jama'ah shalat Idul Adha yang berbahagia

Setiap tahun kita melaksanakan shalat Idul Adha. Setiap tahun pula kita melaksanakan kurban. Bahkan pada saat ini kurban tidak lagi hanya dilaksanakan oleh orang-orang yang mampu atau kaya. Hampir semua orang saat ini berusaha untuk melaksanakan kurban meskipun dengan cara arisan, patungan, atau cara-cara lain yang berkembang di masyarakat. Terlepas dari persoalan khilafiah tentang hukum dari kurban yang dilaksanakan tersebut, sebenarnya terdapat motivasi dan hirrah yang kuat dari umat Islam untuk melaksanakan syari'at agama Islam dengan segala daya dan upaya. Tentu saja hal itu merupakan wujud dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT yang semakin meningkat di kalangan umat Islam. Oleh karena itu, menurut khatib, biarlah upaya-upaya yang dilakukan umat Islam untuk berlatih dan membiasakan diri melaksanakan ajaran agama tersebut berkembang di tengah-tengah umat Islam, sembari diarahkan bagi yang sudah mampu untuk melakukan kurban secara mandiri. Rasulullah saw juga telah mencontohkan beliau menyembelih kambing kurban dengan niat untuk beliau sendiri, untuk diri dan keluarga beliau, bahkan untuk umat Islam dan siapa saja yang tidak mampu melakukannya. Kisah tersebut dimuat dalam kitab Naylul Authar hadits nomor 2098 dan 2099.

Dasar disyari'atkannya ibadah kurban adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Kautsar: 1 – 3:


Artinya:

1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.

2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.

3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus.

Penjelasan yang terkait dengan amalan kurban tersebut juga dijelaskan oleh Allah SWT dalam QS: Al-Hajj: 36-37 dengan firman-Nya:


Artinya:

36. dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur.

37. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

Kaum muslimin rahimakumullah.

Perintah untuk menyembelih kurban bukanlah semata-mata amalan lahiriyah sebagai bentuk pengurbanan seorang hamba kepada Allah SWT. Amalan kurban sarat dengan muatan makna spiritual dan emosional. Dengan demikian orang-orang yang memiliki kecerdasan spiritual dan emosionallah yang mampu melakukan amalan kurban secara baik. Dalam ayat 36 tersebut dijelaskan bagaimana amalan lahiriyah tersebut harus dilakukan, yaitu cara menyembelih dan membagikan daging kurban. Kemudian pada ayat 37 ditegaskan Allah SWT bahwa hakikat dari penyembelihan kurban tersebut adalah manifestasi ketakwaan kepada Allah SWT yang didasarkan atas keikhlasan, ketundukan atas perintah Allah, dan motivasi yang kuat untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

Begitu pentingnya makna dari perintah kurban tersebut, sehingga Rasulullah saw bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ s: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.

{رواه أحمد وبن ماجه}.

Artinya:

“Rasulullah Saw. bersabda: ”Barangsiapa diberikan keluasan rizki dan tidak mau menyembelih hewan qurban, maka janganlah dekat-dekat dengan masjid kami.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah).

Semoga semua umat Islam yang menjalankan perintah Allah SWT dengan menyembelih hewan kurban pada tahun ini mendapatkan ridha dari Allah SWT dan mendapatkan derajat ketakwaan yang tinggi di hadapan Allah SWT. Amin.

Allahu akbar 3X walillahilhamd.

Jama'ah shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering menyaksikan berbagai perilaku yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, baik dalam bidang hukum, sosial-budaya, pendidikan, ekonomi, atau bidang-bidang yang lain. Dalam bidang hukum, misalnya akhir-akhir ini kita menyaksikan adanya proses penegakan hukum yang menimbulkan perdebatan, adanya mafia peradilan, makelar kasus, dan banyak lagi yang lain sehingga menjadikan praktik peradilan tidak sesuai dengan ajaran agama. Dalam bidang budaya, kita menyaksikan semakin banyaknya budaya asing yang masuk dan merusak akhlak putra putri kita, dengan semakin mudahnya akses informasi melalui internet, dan semakin tipisnya filter yang dapat diberikan oleh pemerintah, lembaga pendidikan, maupun oleh orang tua dalam keluarganya masing-masing. Dalam bidang ekonomi, kita menyaksikan banyaknya korupsi, praktik riba, jual beli yang tidak dibenarkan agama, semakin lebarnya jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin, dan masih banyak lagi fakta yang dengan mudah dilihat dalam kehidupan kita sehari-hari.

Terdapat hubungan yang sangat erat antara korupsi dengan kemiskinan. Dalam penelitian Gupta et al (1998) terhadap 38 negara berbeda, terungkap bahwa korupsi memiliki beberapa dampak. Pertama, korupsi menyebabkan meningkatnya kesenjangan pendidikan, rendahnya rata-rata lama masa bersekolah penduduk, dan ketidak-seimbangan distribusi lahan dan kekayaan alam. Dengan kata lain, akan menciptakan kebodohan dan ketidakadilan penguasaan sumberdaya alam. Kedua, korupsi menyebabkan kurang efektifnya social spending (belanja sosial). Padahal belanja sosial ini, terutama yang bersumber dari APBN, sangat dibutuhkan untuk menanggulangi kemiskinan. Ketiga, korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi. Keempat, korupsi akan mengurangi pendapatan pajak, padahal ia merupakan sumber penerimaan keuangan negara yang utama.

Dalam tinjauan agama, perilaku korupsi sangat dilarang dalam Islam, sebagaimana firman Allah dalam QS: Al-Baqarah: 188:

ŸArtinya:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

Perilaku korupsi hanyalah salah satu perilaku tercela yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki keimanan dan ketakwaan yang baik. Untuk itu perilaku tersebut tidak akan dapat disembuhkan dengan penegakan hukum semata, tetapi harus diterapi dengan amalan-amalan yang dapat meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Salah satu amalan yang dapat membawa kita kepada peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT adalah kurban.

Ibadah kurban memiliki nilai-nilai spiritual dan emosional yang dapat menghindarkan kita dari penyakit-penyakit rohaniah dan membawa kita kepada ketakwaan kepada Allah SWT. Di antara nilai spiritual tersebut keikhlasan, kesabaran, dan khusudzan kepada Allah SWT. Ketiga nila tersebut bersumber dari ayat-ayat Al-Qur'an.

1. Keikhlasan

Allah SWT berfirman dalam QS: Ali Imran: 92

Artinya:

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Ayat tersebut juga berdekatan maknanya dengan firman Allah SWT dalam QS: Al-Hajj: 37

Artinya:

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

2. Kesabaran

Nilai kesabaran dalam ibadah kurban dapat dilihat dari kisah Ibrahim as. dengan putranya Ismail as. yang diabadikan dalam QS; Ash-Shaffat: 103

Artinya:

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).

3. Khusnudzan kepada Allah SWT

Nilai khusnudzan telah dicontohkan dalam firman Allah SWT pada QS; Ash-Shaffat: 104-105 berikut

Artinya:

104. dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,

105. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu[1284] Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

[1284] Yang dimaksud dengan membenarkan mimpi ialah mempercayai bahwa mimpi itu benar dari Allah s.w.t. dan wajib melaksanakannya.

Ibrahim as telah menunjukkan sikap yang tunduk dan patuh kepada perintah Allah SWT karena dilandasi oleh sifat khusnudzan kepada Allah SWT. Sifat ini juga ditunjukkan Ibrahim as ketika diperintah Allah untuk memindahkan istrinya Siti Hajar dan anaknya Ismail as ke sebuah lembah di Makkah, suatu tempat yang belum ada kehidupan di sana. Ibrahim melaksanakan perintah tersebut tanpa adanya curiga akan akibat buruk dari perintah Allah tersebut. Begitu pentingnya khusnudzan tersebut sehingga Rasulullah saw bersabda:

لاَ تَمُوْتُنَّ اَحَدٌ مِنْكُمْ اِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالىَ (رواه مسلم وابو داود)

Artinya:

Janganlah salah seorang dari kalian mati, kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah SWT. (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Kaum muslimin jama'ah shalat Idul Adha rahimakumullah.

Selain nilai-nilai spiritual tersebut, juga terdapat nilai-nilai emosional diantaranya adalah nilai kepedulian terhadap orang lain, dan menghilangkan sifat egoisme. Kedua nilai tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kepedulian terhadap orang lain

Pengurbanan Ibrahim dan Ismail dalam menjalankan perintah Allah tersebut memiliki makna luar biasa dalam kehidupan manusia. Betapa tidak? Kesediaan berkurban yang dilakukan Ibrahim sejatinya bermuara pada bentuk atau perwujudan kepedulian sosial.

Penyembelihan hewan kurban dan membagikan dagingkan kepada orang lain merupakan media yang sangat baik untuk melatih sikap kepedulian terhadap orang lain. Ketentuan syari'at yang tidak memperbolehkan orang yang berkurban untuk memakan daginya kurbannya melebihi sepertiga merupakan wujud dari anjuran untuk peduli kepada sesama. Dengan demikian orang yang melakukan ibadah kurban akan terlatih untuk mengaktualisasikan nilai kepedulian terhadap orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

2. Menghilangkan sifat egoisme

Ketika Ibrahim as melaksanakan perintah Allah SWT untuk menyembelih Ismail as, beliau telah menanggalkan egoismenya sebagai orang tua atau bahkan sebagai manusia. Beliau telah mengalahkan kecintaannya kepada anaknya demi kecintaannya kepada Allah SWT. Digantikannya kurban Ibrahim dengan binatang (kambing) mengandung makna bahwa kita harus menyembelih hawa nafsu hayawaniyah dan rasa gengsi atau egoisme kita di hadapan Allah SWT. Binatang ternak sebagai simbol dari kekayaan juga memberikan pelajaran agar kita tidak memiliki sifat hubbud dunya (cinta yang berlebihan kepada harta duniawi).

Allahu Akbar 3X walillahilhamd.

Jama'ah Shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah SWT.

Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan, semoga dengan pelaksanaan ibadah kurban pada tahun ini, dapat meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT, memberikan motivasi kepada kita agar lebih banyak mengaktualisasikan nilai-nilai spiritual dan emosial yang terkandung di dalamnya. Amin ya rabbal 'alamin.

بارك الله لى ولكم بالقر آن العظيم. ونفعنى وا يّاكم بما فيه من ا لايات والذّكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم. اعوذ بالله من الشيطان الرجيم. وقل رب اغفر وارحم وانت خير الراحمين.


الخطبة الثانية

الله اكبر 6×

اللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، وَصَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّجُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ وَلَوْكَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُنَافِقُوْنَ.

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي هَدانَا لِدِيْنِ الإِسْلاَمِ, وَاَرْسَلَ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسَائِرِ الْخَلْقِ وَالأُمَمِ, وَهُوَ سَيِّدُ اْلأنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَخَيْرُ اْلَبشَرِ وَاْلأناَمِ. اَشْهَدُ اَنْ لا اِلهَ اِلاَّ اللهُ اْلمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَادِقُ الْوَعْدِ اْلأَمِيْنِ. اَمَّا بَعْدُ.

فَيَا عِبَادَ اللهِ, اُوْصِيْكُمْ وَاِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنََ, وَاتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. فَقَدْ قَالَ تَعَالى فِى كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: اِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيّ يَآ أيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ, وَارْحَمْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اَللَهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلْاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ. اَللّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا، إِنَّهَا سَاءتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ. اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا سَأَلَكَ مِنْهُ نَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اسْتَعَاذَ مِنْهُ نَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنْتَ الْمُسْتَعَانُ، وَعَلَيْكَ الْبَلَاغُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته



* Dosen dan Ketua Jurusan Tarbiyah STAIN Surakarta.

Tuesday, September 29, 2009

طرائق تعليم اللغات الأجنبية

المقصود بطريقة التعليم، الخطة الشاملة التي يستعين بها المدرس، لتحقيق الأهداف المطلوبة من تعلم اللغة. وتتضمن الطريقة ما يتبعه المدرس من أساليب، وإجراءات، وما يستخدمه من مادة تعليمية، ووسائل معينة. وهناك-اليوم-كثير من الطرائق، التي تعلم بها اللغات الأجنبية، وليس من بين تلك الطرائق، طريقة مثلى، تلائم كل الطلاب والبيئات والأهداف والظروف، إذ لكل طريقة من طرائق تعليم اللغات مزايا، وأوجه قصور. وعلى المدرس أن يقوم بدراسة تلك الطرائق، والتمعّن فيها، واختيار ما يناسب الموقف التعليمي، الذي يجد نفسه فيه .ومن أهم طرائق تعليم اللغات الأجنبية ما يلي : أ- طريقة القواعد والترجمة. ب-الطريقة المباشرة. ج-الطريقة السمعية الشفهية. د- الطريقة التواصلية هـ- الطريقة الانتقائية . وسنعرّف لاحقاً باختصار بتلك الطرائق.
طريقة القواعد والترجمة:
من أقدم الطرائق التي استخدمت في تعليم اللغات الأجنبية، وما زالت تستخدم في عدد من بلاد العالم .تجعل هذه الطريقة هدفها الأول تدريس قواعد اللغة الأجنبية، ودفع الطالب إلى حفظها واستظهارها، ويتم تعليم اللغة عن طريق الترجمة بين اللغتين: الأم والأجنبية، وتهتم هذه الطريقة بتنمية مهارتي القراءة والكتابة في اللغة الأجنبية. ومما يؤخذ على طريقة القواعد والترجمة: إهمالها لمهارة الكلام وهي أساس اللغة، كما أن كثرة اللجوء إلى الترجمة، يقلل من فرص عرض اللغة الأجنبية للطلاب، أضف إلى ذلك أن المبالغة في تدريس قواعد اللغة الأجنبية وتحليلها يحرم الطلاب من تلقي اللغة ذاتها؛ فكثيراً ما يلجأ المعلم الذي يستخدم هذه الطريقة إلى التحليل النحوي لجمل اللغة المنشودة ويطلب من طلابه القيام بهذا التحليل . واهتمامها بالتعليم عن اللغة المنشودة أكثر من اهتمامها بتعليم اللغة ذاتها . تستخدم هذه الطريقة اللغة الأم للمتعلم كوسيلة رئيسية لتعليم اللغة المنشودة . وبعبارة أخرى تستخدم هذه الطريقة الترجمة كأسلوب رئيسي في التدريس . وبإيجاز فإنّ هذه الطريقة تمتاز بما يلي :
1_ تهتم هذه الطريقة بمهارات القراءة والكتابة والترجمة , ولا تعطي الاهتمام اللازم لمهارة الكلام.
2_ تستخدم هذه الطريقة اللغة الأم للمتعلم كوسيلة رئيسية لتعليم اللغة المنشودة . وبعبارة أخرى تستخدم هذه الطريقة الترجمة كأسلوب رئيسي في التدريس .
3_تهتم هذه الطريقة بالأحكام النحوية , أي التعميمات , كوسيلة لتعليم اللغة الأجنبية وضبط صحتها.
4_ كثيراً ما يلجأ المعلم الذي يستخدم هذه الطريقة إلى التحليل النحوي لجمل اللغة المنشودة ويطلب من طلابه القيام بهذا التحليل . واهتمامها بالتعليم عن اللغة المنشودة أكثر من اهتمامها بتعليم اللغة ذاتها .
الطريقة المباشرة :
تمتاز هذه الطريقة بما يلي: الاهتمام بمهارة الكلام، بدلاً من مهارتي القراءة والكتابة، وعدم اللجوء إلى الترجمة عند تعليم اللغة الأجنبية، مهما كانت الأسباب، وعدم تزويد الطالب بقواعد اللغة النظرية، والاكتفاء بتدريبه على قوالب اللغة وتراكيبها، والربط المباشر بين الكلمة والشيء الذي تدل عليه، واستخدام أسلوب المحاكاة والحفظ، حتى يستظهر الطلاب جملاً كثيرة باللغة الأجنبية .ومما يؤخذ على هذه الطريقة: أن اهتمامها بمهارة الكلام، جعلها تهمل مهارات اللغة الأخرى، كما أن تحريمها استعمال الترجمة في التعليم (حتى عند الضرورة) يؤدي إلى ضياع الوقت، وبذل جهد كثير من المدرس والطالب، كما أنَّ الاعتماد على التدريبات النمطية، دون تزويد الطالب بقدر من الأحكام والقواعد النحوية، يحرم الطالب من إدراك حقيقة التركيب النحوي، والقاعدة التي تحكمه.
وبإيجاز فإنّ هذه الطريقة تمتاز بما يلي :
1_ تعطي الطريقة المباشرة الأولوية لمهارة الكلام بد لا من مهارة القراءة والكتابة والترجمة , على أساس أن اللغة هي الكلام بشكل أساسي .
2_ تتجنب هذه الطريقة استخدام الترجمة في تعليم اللغة الأجنبية وتعتبرها عديمة الجدوى , بل شديدة الضرر على تعليم اللغة المنشودة وتعلمها .
3_ بموجب هذه الطريقة , فإن اللغة الأم لا مكان لها في تعليم اللغة الأجنبية .
4_ تستخدم هذه الطريقة الاقتران المباشر بين الكلمة وما تدل عليه , كما تستخدم الاقتران المباشر بين الجملة والموقف الذي تستخدم فيه . ولهذا سميت الطريقة بالطريقة المباشرة .
5_ لا تستخدم هذه الطريقة الأحكام النحوية , لأن مؤيدي هذه الطريقة يرون أن هذه الأحكام لا تفيد في إكساب المهارة اللغوية المطلوبة .
6_ تستخدم هذه الطريقة أسلوب " التقليد والحفظ " حيث يستظهر الطلاب جملاً باللغة الأجنبية وأغاني ومحاورات تساعدهم على إتقان اللغة المنشودة .
الطريقة السمعية الشفهية
من أهم أسس هذه الطريقة :عرض اللغة الأجنبية على الطلاب مشافهة في البداية، أما القراءة والكتابة، فيقدمان في فترة لاحقة، ويعرضان من خلال مادة شفهية، دُرِّب الطالب عليها .ينحصر اهتمام المدرس في المرحلة الأولى في مساعدة الطلاب على إتقان النظام الصوتي والنحوي للغة الأجنبية، بشكل تلقائي. ولا يصرف اهتمام كبير في البداية لتعليم المفردات، إذ يكتفى منها بالقدر الذي يساعد الطالب على تعلم النظام الصوتي والنحوي للغة الأجنبية . وترى هذه الطريقة وضع الدارس في مواجهة اللغة، حتى يمارسها ويستخدمها. ولا مانع من اللجوء إلى الترجمة، إذا استدعى الأمر ذلك. وينبغي استعمال الوسائل السمعية والبصرية بصورة مكثفة، واستخدام أساليب متنوعة لتعليم اللغة، مثل المحاكاة والترديد والاستظهار، والتركيز على أسلوب القياس، مع التقليل من الشرح، والتحليل النحوي.وبدلا من ذلك يتم تدريب الطلاب تدريباً مركزاً على أنماط اللغة وتراكيبها النحوية . ومما يؤخذ على هذه الطريقة، الاهتمام بالكلام على حساب المهارات الأخرى، والاعتماد على القياس، دون الأحكام النحوية، والإقلال من اللجوء إلى الترجمة.
الطريقة الانتقائية
ترى هذه الطريقة أن المدرس حر في اتباع الطريقة التي تلائم طلابه؛ فله الحق في استخدام هذه الطريقة، أو تلك. كما أن من حقه أن يتخيَّر من الأساليب، ما يراه مناسباً للموقف التعليمي، فهو قد يتبع أسلوبا من أساليب طريقة القواعد والترجمة، عند تعليم مهارة من مهارات اللغة، ثم يختار أسلوباً من أساليب الطريقة السمعية الشفهية في موقف آخر. وقد نبعت فلسفة هذه الطريقة من الأسباب التالية: لكل طريقة محاسنها التي تفيد في تعليم اللغة، ولا توجد طريقة مثالية تخلو من القصور، وطرائق التعليم تتكامل فيما بينها ولا تتعارض، وليس هناك طريقة تناسب جميع الأهداف والطلاب والمدرسين والبرامج. وتأتي الطريقة الانتقائية رداً على الطرق الثلاث السابقة . والافتراضات الكامنة وراء هذه الطريقة بإيجاز هي :
1_ كل طريقة في التدريس لها محاسنها ويمكن الاستفادة منها في تدريس اللغة الأجنبية .
2_ لا توجد طريقة مثالية تماماً أو خاطئة تماماً ولكل طريقة مزايا وعيوب وحجج لها وحجج عليها .
3_ من الممكن النظر إلى الطرق الثلاث السابقة على أساس أن بعضها يكمل البعض الآخر بدل من النظر إليها على أساس أنها متعارضة أو متناقضة . وبعبارة أخرى , من الممكن النظر إلى الطرق الثلاث على أنها متكاملة بدل من كونها متعارضة أو متنافسة أو متناقضة .
4_ لا توجد طريقة تدريس واحدة تناسب جميع الأهداف وجميع الطلاب وجميع المعلمين وجميع أنواع برامج تدريس اللغات الأجنبية .
5_ المهم في التدريس هو التركيز على المتعلم وحاجاته , وليس الولاء لطريقة تدريس معينة على حساب حاجات المتعلم .
6_ على المعلم أن يشعر أنه حر في استخدام الأساليب التي تناسب طلابه بغض النظر عن انتماء الأساليب لطرق تدريس مختلفة . إذ من الممكن أن يختار المعلم من كل طريقة الأسلوب أو الأساليب التي تناسب حاجات طلابه وتناسب الموقف التعليمي الذي يجد المعلم نفسه فيه .
الطريقة التواصلية الاتصالية
تجعل هذه الطريقة هدفها النهائي اكتساب الدارس القدرة على استخدام اللغة الأجنبية وسيلة اتصال، لتحقيق أغراضه المختلفة. ولا تنظر هذه الطريقة إلى اللغة، بوصفها مجموعة من التراكيب والقوالب، مقصودة لذاتها، وإنما بوصفها وسيلة للتعبير عن الوظائف اللغوية المختلفة، كالطلب والترجي والأمر والنهي والوصف والتقرير ...إلخ. وتعرض المادة في هذه الطريقة، لا على أساس التدرج اللغوي، بل على أساس التدرج الوظيفي التواصلي.ويتم العمل فيها عبر الأنشطة المتعددة، داخل الوحدة التعليمية. وتعتمد طريقة التدريس على خلق مواقف واقعية حقيقية، لاستعمال اللغة مثل: توجيه الأسئلة، وتبادل المعلومات والأفكار، وتسجيل المعلومات واستعادتها، وتستخدم المهارات لحل المشكلات والمناقشة والمشاركة ...إلخ .

طرق تدريس الللغة العربية

يقصد بطريقة التدريس / الأسلوب الذي يستخدمه المعلم في معالجة النشاط التعليمي ليحقق وصول المعارف إلى تلاميذه بأيسر السبل وأقل الوقت والجهد

الطريقة الإلقائية :
والتي يسمع فيها صوت المعلم أكثر من صوت تلاميذه .

الطريقة القياسية :
ويتم فيها البدء بالقاعدة ثم تأتي الأمثلة لتوضيح القاعدة .

الطريقة الاستقرائية ( الاستنتاجية ) :
وفيها تعرض الأمثلة ثم تستنبط القاعدة .

الطريقة الجمعية :
ويتم فيها الجمع بين الطريقتين الاستقرائية القياسية .

الطريقة الحوارية :
ويتم فيها الوصول للحقائق عن طريق الحوار وإبداء الآراء .

الأهداف السلوكية وأهمية صياغتها

الأهداف السلوكية / هي نواتج تعليمية متوقع من التلميذ أداؤها بعد عملية التدريس ويمكن أن يلاحظها المعلم ويقيسها .
وتظهر أهمية صياغة الأهداف السلوكية لكل معلم فيما يلي :
- تساهم صياغة الأهداف السلوكية في صياغة فقرات الاختبار أو تحديد أساليب التقويم
- تنظيم صياغة الأهداف عمل المعلم اليومي وتزيد في هذا العمل ثقته بنفسه .
- صياغة الأهداف السلوكية تسهل كثيرا عمليتي التعليم والتعلم .
- صياغة الأهداف السلوكية تجعل العلم يقوم بعملية تحليل المحتوى للموضوع الدراسي المقرر
- تكشف صياغة الأهداف السلوكية عن الإجراءات التدريسية المناسبة كطريقة التدريس والوسائل التعليمية والأنشطة الأخرى .

أفعال عامة قابلة لأكثر من تفسير يقابلها أفعال خاصة سلوكية قابلة للقياس


تجربة لمعالجة ضعف التلاميذ في الإملاء

طريقة الجمع :

تقوم طريقة الجمع على أساس استخدام خاصية الجمع لدى التلاميذ بتكيفهم أن يجمعوا في بطاقات خاصة بهم كلمات هجائية على رسم خاص مثلا:مجموعة من كلمات تنتهي بتاء مفتوحة أو مربوطة أو كلمات تكتب بلامين أو كلمات ترسم فيها الهمزة على واو أو على ياء أو كلمات ينطق آخرها ألفا ولكنها تكتب ياء.

طريقة البطاقات:

وهي تعليم الإملاء بطريقة التدريب الفردي
تعد لذلك بطاقات تكتب فيها طائفة كبيرة من الكلمات تخضع لقاعدة من قواعد الإملاء ، مثل بطاقات لكلمات في وسطها همزة مكسورة وأخرى تشتمل على كلمات آخرها همزة قبلها ساكن وثالثة على كلمات تكتب بلامين ...... وهكذا حتى تستوفي قواعد الإملاء في تلك البطاقات ، فإذا أخطأ تلميذ في رسم كلمة أعطي البطاقة الخاصة برسم هذه الكلمة ليقوم بالتدريب عليها وتشرح له القاعدة بعد التدريب متى كان في إمكانه فهمها .

ومن المفيد في السنوات الأولى من المرحلة الابتدائية استخدام نوع آخر من البطاقات السالفة الذكر فتعد لهم بطاقات تشتمل كل منها على قصة قصيرة أو أي موضوع مناسب وتنتزع من هذه الموضوعات بعض كلماتها ويترك مكانها خاليا وتكتب هذه الكلمات في أعلى البطاقة وعلى التلميذ أن ينقل هذه البطاقة في كراسته واضعا تلك الكلمات في أماكنها الخالية .

ويمكن أن يقوم التلاميذ بعمل هذه البطاقات تحت إشراف المعلم .

Saturday, January 17, 2009

Implikasi UU BHP terhadap Pengembangan Madrasah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Dasar Pemikiran

Otonomi daerah telah lama digulirkan oleh pemerintah. Kelengkapan regulasi juga telah dibuat dengan bentuk undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah (PP). Namun demikian dalam realitasnya di masyarakat masih ditemukan banyak permasalahan yang belum dapat teratasi. Berbagai efek negatif juga bermunculan akibat adanya otonomi daerah, seperti tumbuh suburnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tingkat daerah. Proses pilkada yang masih terus saja menimbulkan konflik horizontal, dan berbagai penyalah gunaan kekuasaan di tingkat daerah. Hal ini juga terjadi dalam dunia pendidikan seperti dalam proses pengangkatan kepala sekolah atau proses mutasi pegawai yang sarat dengan nuansa politis.

Desentralisasi pendidikan telah dilakukan terutama di tingkat dasar dan menengah. Namun demikian proses desentralisasi pendidikan ini belum dapat berjalan secara baik. Salah satu sebabnya adalah karena kebijakan pendidikan secara nasional masih ditangani secara terpisah oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Dengan dualisme kebijakan tersebut berakibat pada perbedaan perlakuan terhadap implementasi otonomi daerah. Madrasah yang berada di bawah Departemen Agama sampai saat ini masih menganut sistem sentralistik. Akibatnya banyak persoalan di lapangan yang muncul akibat perbedaan kebijakan tersebut.

Berbagai permasalahan di madrasah seolah menjadi persoalan mereka sendiri. Hal ini dikarenakan pemerintah pusat belum mampu berbuat banyak untuk pengembangan madrasah, sementara itu pemerintah daerah tidak mau ikut campur dalam menangani madrasah karena merasa bukan wilayahnya. Pada saat persoalan pengembangan madrasah tertangani, sekarang telah muncul Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi. Dengan undang-undang tersebut, tentu saja sistem manajemen madrasah akan mengalami perubahan. Namun demikian masih perlu dikaji secara mendalam tentang peluang pengembangan madrasah tersebut. Makalah ini mencoba untuk memberikan kajian tersebut secara singkat.

B. Permasalahan

1. Bagaimana konsep mendasar UU BHP dan otonomi daerah dalam konteks desentralisasi pendidikan?

2. Bagaimana posisi madrasah dalam dalam konteks UU BHP dan otonomi daerah?

3. Bagaimana alternatif pengembangan madrasah yang ideal setelah adanya UU BHP?

C. Sistematika Pembahasan

Untuk menjawab tiga permasalahan tersebut, maka dalam makalah ini dikaji secara sistematis dimulai dari pendahuluan yang berisi dasar pemikiran, permasalahan, dan sistematika pembahasan. Pada bab kedua berisi kajian terhadap konsep otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Kedua konsep tersebut akan dikaji dari aspek filosofis, historis, dan keterkaitan desentralisasi pendidikan dengan BHP.

Pada bagian berikutnya dibahas tentang posisi madrasah dalam konteks UU BHP dan otonomi daerah. Kajian ini menyoroti madrasah sebagai “korban” dualisme kebijakan, dan desentralisasi manajemen madrasah sebagai keniscayaan. Pada bagian selanjutnya dikaji tentang madrasah menuju BHP, dan pada bab ketiga disampaikan kesimpulan dan penutup.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan

1. Landasan Filosofis

Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di bidang pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen, John Codd, dan Anne-Marie O’Neil, kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi, bagi negara-negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi (H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, 2008: 267). Lebih lanjut Tilaar mengutip pendapat Olsen dkk (2000: 1-2) yang mengatakan: “… education policy in the twenty-first century is the key to global security, sustainability and survival…education policies are central to such global mission…”. Karena kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik, maka kebijakan pendidikan harus sejalan dengan kebijakan publik.

UUD 1945 pasal 31 ayat 4 menyatakan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara, dengan demikian sudah semestinya jika pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah. Fakta sejarah Indonesia menunjukkan bahwa realisasi dari tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan ini belum dapat dilakukan secara penuh. Salah satunya disebabkan karena sangat luasnya wilayah Indonesia dengan kondisi sosio-kultural dan demografisnya yang sangat beragam. Belum lagi dengan jumlah penduduk yang sangat besar, sementara prioritas pemerintah dalam perencanaan anggaran belum memprioritaskan pada pendidikan di urutan pertama.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan pemerintah adalah melakukan pelimpahan wewenang dan pembagian tanggung jawab pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Apalagi otonomi daerah telah digulirkan, sehingga kebijakan pengelolaan pendidikan juga mengiringinya dengan sistem desentralisasi meskipun tidak sepenuhnya. Menurut Tilaar (2002: 20) desentralisasi pendidikan sangat urgen karena berkaitan dengan tiga hal, yaitu; (a) pembangunan masyarakat demokrasi, (b) pengembangan social capital, dan (c) peningkatan daya saing bangsa.

2. Perubahan Paradigma Manajemen Pendidikan; Sentralistik - Desentralistik

Dalam perspektif sejarah, di Indonesia telah beberapa kali dilakukan perubahan paradigma manajemen pendidikan antara sentralisasi dan desentralisasi. PP No. 65 tahun 1951 telah memberikan sebagian wewenan kepada daerah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar, dan hal ini mendapat wadahnya dalam UU No. 5 tahun 1974 mengenai pemerintahan di daerah yang menjurus kepada otonomi daerah. Sebaliknya PP No. 28 tahun 1990 kembali cenderung ke arah sentralistik. Hal ini dikarenakan PP tersebut keluar dari UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional (H.A.R. Tilaar, 2001: 31).

Undang-undang tentang sisdiknas tersebut diperbaharui dengan keluarnya UU tahun 2003, kemudian dikuatkan oleh UU No. 32 tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum itu sebenarnya telah dikeluarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dan PP no. 25 tahun 2000 tentang pelimpahan wewenang pemerintahan dan propinsi sebagai daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam PP tersebut disebutkan adanya 7 hal yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, yaitu; (1) standar kompetensi siswa dan pengaturan kurikulum serta penilaian secara nasional, (2) standar materi pelajaran pokok, (3) gelar akadeik, (4) biaya penyelenggaraan pendidikan, (5) penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa/mahasiswa, (6) benda cagar budaya, dan (7) kalender akademik (E. Mulyasa, 2002: 194-214). Kebijakan terakhir yang dikeluarkan pemerintah adalah UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang disahkan pada tanggal 17 Desember 2008. Meskipun demikian UU BHP ini masih menuai pro dan kontra serta belum dapat diterapkan karena belum dikeluarkan PP-nya.

Abdul Azis Wahab (2008: 290-291) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan desentralistik menjadikan kewenangan pemerintah (pusat) posisinya lebih besar dari pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar kriteria, dan prosedur, sedangkan kewenangan pelaksanaannya hanya terbatas pada kewenangan yang bertujuan; (a) mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara, dan (b) menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara. Lebih lanjut beliau mengutip pendapatnya Djam’an Satori (2000) bahwa tantangan yang perlu direspon dalam otonomi pengelolaan pendidikan daerah di kabupaten/kota adalah:

a. Menjamin layanan pendidikan sebagai investasi sosial dengan tetap memperhatikan bidang hasil pokok pengelolaan pendidikan.

b. Memposisikan pembangunan pendidikan secara sinergik dengan bidang lainnya.

c. Pengembangan kurikulum sesuai dengan kebutuhan daerah.

d. Pengelolaan sarana dan prasarana.

e. Menjamin dan meningkatkan profesionalesme pengelola pendidikan.

f. Kepemimpinan pendidikan.

g. Manjamin dan meningkatkan akuntabilitas publik.

h. Membangun struktur organisasi pendidikan yang fungsional yang manjamin kesatuan komando, kejelasan fungsi, efisiensi, serta kecepatan dan ketepatan layanan.

i. Membangun partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Sam M. Chan dan Tuti T. Sam (2005: 2) memberikan analisis bahwa sebenarnya banyak daerah di Indonesia yang belum siap untuk menerima berbagai kewenangan, termasuk bidang pendidikan. Beberapa alasannya adalah; (a) SDM yang belum memadai, (b) sarana dan prasarana yang belum tersedia, (c) PAD yang sangat rendah, (d) secara psikologis, mental mereka terhadap perubahan belum siap, dan (e) mereka gamang atau takut dengan upaya pembaharuan.

3. Desentralisasi Pendidikan dan BHP

Desentralisasi dapat diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah sehingga wewenang tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah, termasuk di dalamnya penentuan kebijakan perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan dan aparatnya (Moch. Idochi Anwar, 2004: 49). Lebih lanjut, beliau juga mengutip pendapat beberapa pakar. Ranis (1994) mengistilahkan desentralisasi dengan devolution, yaitu pemerintah pusat menyerahkan kekuasaan kepada pengambil keputusan di tingkat daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Varghese (1995) yang mengartikan desentralisasi sebagai devolution of power and authority untuk mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan.

Desentralisasi pendidikan adalah sistem manajeman untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan kepada kebinekaan. Hal ini tepat diterapkan di Indonesia yang memiliki potensi dan karakteristik antar daerah yang berbeda-beda. Meskipun demikian tidak berarti menciutkan substansi pendidikan menjadi bersifat lokal, sempit dna berorientasi primordial yang dapat menumbuhkan sentimen kedaerahan. Jadi desentralisasi lebih diorientasikan kepada pelimpahan wewenang dan kekuasaan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan mengambil keputusan sendiri dalam bidang pendidikan tetapi tetap mengacu kepada tujuan pendidikan nasional (Moch. Idochi Anwar, 2004: 50-51).

UU BHP yang sempat mengalami pembahasan cukup lama dan sarat dengan pro dan kontra, akhirnya telah disahkan pada tanggal 17 Desember 2008. UU BHP ini sebenarnya sebagai kelanjutan dari kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Hal ini terutama nampak dari kebijakan di bidang pembiayaan pendidikan. Dalam UU BHP, pembiayaan pendidikan ditanggung secara bersama oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dengan rambu-rambu prosentase yang telah ditetapkan.

Pemerintah sebagai yang bertanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan berusaha untuk melimpahkan sebagian tanggung jawabnya kepada pemerintah daerah. Hal ini wajar dilakukan karena kebijakan otonomi daerah telah lebih dahulu dilaksanakan. Artinya, pemerintah daerah telah memiliki anggaran sendiri yang salah satunya adalah untuk pembiayaan pendidikan. Dengan UU BHP ini, maka posisi pemerintah daerah dan pusat adalah share dalam pembiayaan pendidikan. Terlepas dari adanya ketidak seimbangan antar daerah dalam PAD-nya, bahwa kebijakan ini tidak berarti pemerintah ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya terhadap pendidikan, tetapi lebih pada upaya untuk melakukan regulasi di bidang pendidikan secara nasional sehingga tidak terjadi jurang pemisah yang terlalu dalam antara satu lembaga pendidikan dengan yang lain, antara satu daerah dengan daerah yang lain. Hal ini telah diatur secara rinci pada pasal 33 sampai 38.

B. Posisi Madrasah dalam Konteks UU BHP dan Otonomi Daerah

1. Madrasah sebagai “Korban” Dualisme Kebijakan

Kebijakan pendidikan di Indonesia sebenarnya masih dualistik, yaitu adanya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan Departemen Agama (Depag) yang sama-sama menangani pendidikan. Ironisnya, meskipun keduanya sama-sama menangani pendidikan, kebijakan yang diambil kurang berimbang dan seringkali berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi. Misalnya dalam penerapan desentralisasi pendidikan, pelaksanaan sertifikasi guru dan dosen, pembiayaan pendidikan, pembukaan program studi di perguruan tinggi, penerimaan pegawai, dan sebagainya.

Kebijakan desentralisasi pendidikan yang sudah dijalankan di Indonesia sampai saat ini sebenarnya baru pada lembaga pendidikan di bawah Departemen Pendidikan Nasional, yaitu mulai dari SD, SMP, SMA, dan SMK. Sementara untuk madrasah yang berada di bawah Departemen Agama masih sentralistik. Sedangkan untuk perguruan tinggi masih sama-sama sentralistik. Akibat dari ketidak samaan kebijakan di tingkat pendidikan dasar dan menengah tersebut mengakibatkan adanya perlakuan terhadap lembaga pendidikan yang tidak sama.

Salah satu contoh, ketika sekolah-sekolah yang berada di bawah Diknas menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, maka sekolah mendapatkan alokasi dana dari APBD yang dialokasikan mulai dari subsidi pengembangan fisik sampai dengan penggajian para tenaga pendidik dan kependidikan serta bantuan bagi para siswa. Bahkan beberapa daerah telah menerapkan sekolah gratis. Hal tersebut tidak dirasakan oleh madrasah dengan alasan tidak menjadi tanggung jawab pemda karena masih sentralistik. Hal tersebut juga berimbas pada proses pengangkatan pegawai yang masih sentralistik sehingga meskipun pada realitasnya madrasah sangat kekurangan tenaga pendidik, pemda tidak dapat memberikan solusi selama pemerintah pusat (Depag) tidak mengangkatnya. Akibatnya, banyak madrasah yang harus mengangkat tenaga pendidik honorer yang penggajiannya harus dialokasikan sendiri oleh sekolah. Kondisi seperti ini sangat kontras jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dan daerah.

Kebijakan tentang penyamaan antara madrasah dengan sekolah umum telah dikeluarkan sejak masa Menteri Pendidikan Malik Fajar. Dengan kebijakan tersebut berarti madrasah bukan lagi sekolah umum yang bercirikan Islam, sebagaimana konsep yang dilontarkan pada masa Menteri Agama Tarmidzi Taher (Muhaimin, 2003: 177), tetapi madrasah adalah sama dengan sekolah umum, hanya induknya saja yang berbeda, yaitu Depag dan Diknas. Kebijakan tersebut juga berlaku untuk perguruan tinggi. Namun demikian pada realitasnya masih terjadi dikotomi dan diskriminasi. Salah satu contoh, pada PTU dibuka program studi PGSD, dan pada PTAI dibuka program studi PGMI. Orientasi dari keduanya adalah sama-sama mendidik calon guru kelas. PTU membuka program studi pendidikan bahasa Inggris, dan PTAI membuka tadris bahasa Inggris yang keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mencetak para calon guru bahasa Inggris. Tetapi ternyata pada saat penerimaan CPNS terjadi diskriminasi, yaitu alimni PTAI tidak dapat mendaftar di sekolah umum, sedangkan alumni PTU dapat mendaftar di sekolah umum maupun madrasah, dan masih banyak contoh lain yang pada akhirnya lembaga pendidikan di bawah Depag-lah yang “dirugikan”.

2. Desentralisasi Manajemen Madrasah Sebagai Keniscayaan

UU BHP yang baru saja disahkan bisa jadi merupakan angin segar bagi madrasah. Dengan adanya pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan, bisa jadi akan mampu membuka peluang madrasah untuk mendapatkan tempat yang sama dengan sekolah umum lainnya di daerah. UU BHP telah mangamanatkan kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran bagi penyelenggaraan pendidikan dari setiap BHP. Hal tersebut berarti juga berlaku untuk madrasah apabila telah menjadi BHP.

Persoalan yang masih menjadi ganjalan adalah, keberadaan madrasah yang masih menjadi tanggung jawab Depag secara sentralistik. Dengan ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam pasal-pasal UU BHP, maka dapat dipahami bahwa pemberlakuan BHP tersebut secara otomatis akan menghilangkan sentralisasi pendidikan. Hal itu berarti madrasah yang telah manjadi BHP tidak lagi sentralistik tetapi desentralistik.

C. Pengembangan Madrasah Menuju BHP

Dalam UU BHP telah dirumuskan prinsip-prinsip pengelolaan pendidikan, yaitu pada pasal 4 ayat 2 yang meliputi;

1. Otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik,

2. Akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

3. Transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan,

4. Penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan,

5. Layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik,

6. Akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya,

7. Keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya,

8. Keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan,

9. Partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara.

Dengan sembilan prinsip yang harus dimiliki dalam pengelolaan BHP tersebut, maka madrasah harus mulai mempersiapkan diri. Kondisi riil madrasah secara umum pada saat ini masih membutuhkan banyak perbaikan. Persoalan-persoalan yang dihadapi cukup kompleks, terutama bagi madrasah swasta, yaitu mulai dari kekurangan SDM, kecilnya anggaran yang dimiliki, rendahnya kualitas input, rendahnya daya saing, dan sebagainya. Dengan kondisi yang ada pada saat ini, maka ada beberapa hal yang harus segera dilakukan oleh madrasah.

1. Reorientasi visi dan misi lembaga. Untuk melakukan reorientasi visi dan misi lembaga ini diawali dengan needs analysis untuk menemukan kebutuhan sebenarnya yang akan dipenuhi melalui lembaga pendidikan tersebut. Dengan demikian madrasah tidak hanya berorientasi pada upaya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dan diidealkan dari sudut pandangan pengelola, tetapi benar-benar berorientasi pada kebutuhan pelanggan.

2. Standarisasi mutu pembelajaran. Untuk mewujudkan mutu pembelajaran yang baik, perlu dibuat standarisasi yang meliputi standar proses dan standar isi. Dari standarisasi ini kemudian dikembangkan model dan strategi pembelajaran yang sesuai. Dengan standarisasi mutu pembelajaran ini, maka semua yang terlibat dalam proses pembelajaran harus tunduk dan berusaha untuk mencapai indikator mutu yang ditetapkan.

3. Penguatan SDM. Salah satu kelemahan utama dari madrasah adalah kurangnya SDM baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini disebabkan jumlah tenaga pendidikan yang berstatus PNS dengan kualifikasi yang memadai tidak sebanding dengan jumlah tenaga honorer yang dimiliki. Untuk itu proses penguatan SDM mutlak harus dilakukan dengan berbagai strategi yang disesuaikan dengan kondisi di lembaga pendidikan masing-masing. Orientasi dari penguatan SDM ini adalah penguatan kompetensi baik sebagai kepala sekolah, sebagai guru, sebagai tenaga administrasi, maupun tenaga kependidikan yang lain.

4. Penguatan jaringan dan komunikasi. Salah satu kekuatan madrasah yang sudah ada selama ini adalah adanya basis masyarakat yang kuat. Namun demikian akar masyarakat tersebut seolah mulai tercabut dengan pergeseran minat masyarakat kepada sekolah-sekolah umum atau sekolah umum yang bercirikan Islam. Apabila madrasah ingin berkembang, maka harus kembali menguatkan jaringan dengan masyarakat dan mengkomunikasikan (mempromosikan) madrasah kepada masyarakat secara intent. Salah satu penyebab kurang diminatinya madrasah adalah karena kurang pandainya dalam mengemas dan mempromosikannya.

5. Akuntabilitas publik. Kepercayaan masyarakat kepada lembaga pendidikan salah satunya didasarkan pada akuntabilitas sekolah tersebut. Madrasah sudah seharusnya telah memiliki tradisi akuntabilitas yang baik, karena madrasah sudah terbiasa melibatkan masyarakat. Apabila akuntabilitas publik atau proses transparansi tidak dilakukan, maka masyarakat yang ikut terlibat mengembangkan madrasah lambat laun akan mundur dan menjauh dari madrasah.

Apabila lima hal tersebut dapat dilakukan secara baik, maka secara otomatis akan dapat meningkatkan citra lembaga di tengah-tengah masyarakat. Pada akhirnya, madrasah tidak akan dipandang sebagai lembaga pendidikan kelas dua, tetapi memiliki daya saing yang kuat dan menjadi pilihan dari masyarakat. Dalam bentuk bagan dapat digambarkan sebagai berikut:















BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. UU BHP dan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan. Proses pembiayaan pendidikan yang merupakan tanggung jawab negara kemudian dirubah menjadi sharring antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat.

2. Dengan diundangkannya BHP, maka madrasah memiliki peluang untuk dapat berkembang sebagaimana lembaga pendidikan yang berada di bawah diknas. Konsekuensi dari UU BHP tersebut bagi madrasah adalah berubahnya sistem manajemen sentralistik menjadi desentralistik.

3. Untuk mengembangkan madrasah dalam menyongsong berubahnya menjadi BHP, maka perlu dilakukan lima langkah strategis, yaitu; reorientasi visi dan misi lembaga, standarisasi mutu pembelajaran, penguatan SDM, penguatan jaringan dan komunikasi, serta akuntabilitas publik.

B. Kata Penutup

Demikianlah pembahasan makalah yang disajikan secara singkat ini, mudah-mudahan dapat memberikan gambaran secara jelas tentang berbagai hal yang terkait dengan pengembangan madrasah dalam perspektif UU BHP dan otonomi daerah. Makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, untuk itu berbagai saran dan kritik sangat diharapkan untuk kesempurnaannya. Semoga madrasah akan tetap eksis dan tidak akan kehilangan jati dirinya di tengah persaingan yang semakin berat ini.

DAFTAR REFERENSI

Abdul Azis Wahab, 2008, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan; Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

E. Mulyasa, 2002, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Rosdakarya.

H.A.R. Tilaar, 2002, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta.

___________, 2001, Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan, cetakan kelima, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, 2008, Kebijakan Pendidikan; Pengantar untuk Memehami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhaimin, 2003, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, 2005, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Moch. Idochi Anwar, 2004, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Syaiful Sagala, 2007, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Syahrin Naishasy, 2006, Kebijakan Publik (Publik Policy), Menggapai Masyarakat Madani, Jogjakarta: Mida Pustaka.

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan Tahun 2008.