Ahlan wa Sahlan

Anda berada dalam ruang pendidikan, pembelajaran, dan kebahasa-Araban. Blog ini menjadi tempat sharing pengalaman dan pengetahuan tentang apa saja yang terkait dengan pendidikan, pembelajaran, dan bahasa Arab. Berikan komentar dan argumentasi anda tentang topik-topik yang aktual dan menarik untuk dikaji. Semoga pendidikan kita dapat lebih maju dan berkualitas.

Friday, December 5, 2008

Bahan Ajar: Strategi Pembelajaran Bahasa Arab Aktif

MATA KULIAH : METODOLOGI PBA 2

PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN BAHASA ARAB

JURUSAN : TARBIYAH

SKS : 2 SKS

A. Strategi Pembelajaran Istima’

Pada umumnya, pembelajaran istima’ disampaikan dengan menggunakan media audio. Hal ini dikarenakan untuk mendatangkan natiq ashli tidaklah mudah, sementara itu jika dilakukan oleh guru langsung yang notabene bukan orang Arab asli, biasanya ada perbedaan logat dengan bahasa aslinya. Media audio yang biasa digunakan adalah tape recorder, CD, dan laboratorium bahasa. Hanya saja, jika dilihat dari pertimbangan efisiensi, maka tape recorder dan CD merupakan pilihan media yang cukup murah dan efektif digunakan. Dalam tulisan ini, akan dijelaskan 3 macam strategi pembelajaran istima’ dengan menggunakan media audio tape recorder atau CD.

Sebagaimana telah diuraikan dalam bab pertama, bahwa kemampuan istima’ itu cukup beragam dan bertingkat-tingkat. Yang paling sederhana, istima’ dimaksudkan untuk memperdengarkan bunyi bahasa Arab kepada siswa untuk ditirukan dan dihafalkannya. Dalam pengembangan strategi ini lebih menitik beratkan pada aspek pemahaman dan pengungkapan kembali terhadap apa yang sudah didengarnya baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran istima’ ini adalah:

  1. Strategi 1 (True or False)

Strategi ini bertujuan untuk melatih kemampuan mendengarkan bacaan dan memahami isi bacaannya secara global. Dalam strategi ini yang dibutuhkan adalah rekaman bacaan dan potongan-potongan teks yang terkait dengan isi bacaan tersebut untuk dibagikan kepada siswa. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Bagikan potongan-potongan teks yang dilengkapi dengan alternatif jawaban benar atau salah (B/S).

Ø Perdengarkan bacaan atau nash lewat kaset atau CD dan para siswa ditugaskan untuk menangkap isi bacaan secara umum.

Ø Setelah bacaan selesai, para siswa diminta membaca pernyataan-pernyataan yang telah dibagikan, kemudian memberikan jawaban benar atau salah terhadap pernyataan tersebut. Jika pernyataan tersebut sesuai dengan isi bacaan yang didengar, berarti benar, dan jika tidak sesuai maka jawabannya salah.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menyampaikan jawabannya.

Ø Perdengarkan sekali lagi kaset tersebut agar masing-masing siswa dapat mencocokkan kembali jawaban yang telah ditulisnya.

Ø Berikanlah klarifikasi terhadap semua jawaban tersebut agar semua siswa mengetahui kebenaran dari jawaban mereka masing-masing.

  1. Strategi 2

Strategi ini lebih menekankan pada aspek kemampuan memahami isi bacaan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengiringi dalam setiap bacaan tersebut. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Perdengarkan nash yang sudah direkam dalam kaset maupun CD.

Ø Mintalah semua siswa untuk mendengarkan dan mencatat hal-hal yang penting.

Ø Mintalah semua siswa untuk menjawab soal-soal yang disampaikan pada akhir bacaan tersebut. Jawaban dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menyampaikan jawabannya (presentasi).

Ø Berikan klarifikasi di akhir sessi terhadap jawaban siswa.

  1. Strategi 3

Strategi ini tidak hanya menitik beratkan pada aspek kemampuan memahami isi bacaan, tetapi juga kemampuan untuk mengungkapkan kembali apa yang sudah didengarnya dengan bahasa sendiri. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Perdengarkan nash yang sudah direkam dalam kaset atau CD.

Ø Tugaskan kepada setiap siswa untuk mencatat kata-kata kuncinya (keyword) sambil mendengarkan.

Ø Setelah selesai, para siswa diminta untuk mengungkapkan kembali isi bacaan tersebut dalam bentuk lisan atau tulisan.

Ø Mintalah setiap siswa untuk menyampaikan (mempresentasikan) hasilnya secara bergantian.

Ø Berikan klarifikasi terhadap hasil kerja siswa untuk memberikan penguatan terhadap pemahaman siswa.

B. Strategi Pembelajaran Kalam/Ta’bir

Maharatul kalam sering juga disebut dengan istilah ta’bir. Meski demikian keduanya memiliki perbedaan penekanan, dimana kalam lebih menekankan kepada kemampuan lisan, sedangkan ta’bir disamping secara lisan juga dapat diwujudkan dalam bentuk tulisan. Meski demikian keduanya memiliki kesamaan secara mendasar, yaitu bersifat aktif untuk menyatakan apa yang ada dalam pikiran seseorang.

1. Strategi 1 (Ta’bir Min ash-Shuwar)

Strategi ini bertujuan untuk melatih siswa menceritakan apa yang dilihat dalam bahasa Arab baik lisan maupun tulisan. Media yang digunakan dapat berupa gambar baik yang diproyeksikan maupun yang tidak diproyeksikan. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Pilihlah sebuah gambar yang sesuai dengan tema yang diinginkan.

Ø Tunjukkan gambar tersebut kepada para siswa, misalnya dengan ditempel di papan tulis.

Ø Mintalah siswa untuk menyebutkan nama benda-benda atau bagian-bagian yang ada dalam gambar tersebut dalam bahasa Arab.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menyusun sebuah kalimat dari gambar tersebut secara lisan.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menyusun kalimat dari gambar tersebut secara tertulis.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk membacakan hasilnya (presentasi).

Ø Berikan klarifikasi terhadap hasil pekerjaan para siswa tersebut.

2. Strategi 2 (Jigsaw/Café-café)

Strategi ini sering disebut dengan strategi Jigsaw (Cafe-cafe). Strategi ini biasanya digunakan dengan tujuan untuk memahami isi sebuah bacaan secara utuh dengan cara membagi-baginya menjadi beberapa bagian kecil. Masing-masing siswa memiliki tugas untuk memahami sebagian isi bacaan tersebut, kemudian digabungkan menjadi satu. Dengan cara seperti ini diharapkan isi bacaan yang cukup panjang dapat dipahami secara cepat, di samping itu proses pemahaman akan semakin mendalam karena diulang berkali-kali. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Buatlah beberapa kelompok sesuai dengan jumlah topik bahasan atau jumlah paragrap dari bacaan yang akan dipelajari.

Ø Bagikan naskah/bacaan pada kelompok-kelompok tersebut dengan masing-masing kelompok satu buah topik atau paragrap.

Ø Berilah waktu untuk membaca, memahami dan menta’birkan (mengungkapkan kembali) dalam kelompok masing-masing secara bergiliran.

Ø Setelah kerja kelompok ini selesai, buatlah kelompok kedua dengan jumlah kelompok sesuai dengan jumlah anggota kelompok yang pertama. Misalnya, jumlah anggota kelompok pertama 5 orang, maka jumlah kelompok kedua juga 5 kelompok, sehingga masing-masing anggota kelompok akan disebar dan bergabung dengan anggota dari kelompok yang lain.

Ø Mintalah masing-masing siswa dalam setiap kelompok untuk mena’bir-kan (mengungkapkan kembali) apa yang sudah dipahami dari kelompok yang pertama. Dengan demikian masing-masing kelompok akan memiliki pemahaman dari 5 topik atau paragrap yang berbeda.

Ø Mintalah masing-masing kelompok untuk mempresentasikan (mena’birkan) hasilnya secara utuh. Pada saat ini masing-masing siswa sudah memahami seluruh isi bacaan atau topik yang ditetapkan.

Ø Berikan klarifikasi di akhir presentasi agar pemahaman terhadap isi bacaan atau topik-topik tersebut tidak keliru.

3. Strategi 3 (Small Group Presentation)

Strategi ini sering disebut dengan Small Group Presentation. Dalam strategi ini kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Masing-masing kelompok akan melakukan tugas yang diberikan pengajar, kemudian hasilnya dipresentasikan di kelas. Strategi ini biasanya digunakan untuk lebih mengaktifkan semua siswa sehingga masing-masing siswa akan merasakan pengalaman belajar yang sama. Dengan cara ini diharapkan pengetahuan dan ketrampilan siswa dapat merata. Sebagai contoh, dalam pembelajaran bahasa Arab dengan materi ta’aruf, akan membutuhkan waktu yang sangat banyak jika praktik dilakukan satu-persatu di depan kelas, tetapi jika menggunakan strategi ini penggunaan waktu akan dapat diefisienkan. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Tentukan topik yang akan dipelajari, misalnya ta’aruf tentang identitas diri atau menjelaskan tentang hal tertentu.

Ø Ajaklah seluruh siswa untuk terlebih dahulu menentukan dan menyepakati unsur-unsur atau hal-hal apa saja yang harus disampaikan oleh siswa. Misalnya dalam materi ta’aruf yang harus diungkapkan adalah; nama, umur, alamat, hobi, cita-cita dan seterusnya.

Ø Bagilah siswa menjadi beberapa kelompok kecil, misalnya 2 sampai 5 orang.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menyampaikan ta’aruf dalam kelompoknya secara bergantian.

Ø Setelah proses dalam kelompok selesai, mintalah masing-masing siswa atau beberapa siswa yang mewakili kelompok tersebut untuk menyampaikan hasilnya (berta’aruf) di depan kelas.

Ø Berikan klarifikasi terhadap hasil yang dipresentasikan oleh masing-masing siswa.

4. Strategi 4 (Gallery Session/Poster Session)

Strategi ini biasa disebut dengan strategi Gallery Session/Poster Session. Penggunaan strategi ini diantaranya ditujukan untuk melatih kemampuan siswa dalam memahami isi sebuah bacaan kemudian mampu untuk memvisualisasikannya dalam bentuk gambar. Dari gambar tersebut diharapkan semua siswa dapat menghafal isi bacaan secara lebih mudah dan ingatan siswa terhadap isi bacaan tersebut dapat bertahan lebih lama. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Tentukan topik-topik bahasan dan bacaan yang akan dipelajari.

Ø Bagilah siswa dalam beberapa kelompok kemudian masing-masing kelompok diberi teks/bacaan dengan topik yang berbeda.

Ø Mintalah seluruh siswa dalam masing-masing kelompok untuk membaca dan memahami teks tersebut bersama-sama.

Ø Mintalah masing-masing kelompok untuk menuangkan isi bacaan tersebut dalam bentuk gambar (visualisasi). Dalam hal ini, bentuk dan unsur-unsur yang ada dalam gambar diharapkan dapat mewakili pokok-pokok pikiran yang ada dalam bacaan tersebut.

Ø Mintalah masing-masing kelompok untuk menempelkan gambarnya pada galery yang telah disediakan. Jika papan galeri tidak tersedia, dapat juga ditempelkan di papan pengumuman atau di dinding sekolah baik di dalam maupun di luar kelas.

Ø Mintalah masing-masing kelompok untuk menunjuk seorang penjaga pada galery. Tugas dari penjaga galery ini adalah memberikan penjelasan kepada para pengunjung yang mempertanyakan isi atau maksud dari gambar yang dipamerkan.

Ø Mintalah semua mahasiswa (yang tidak bertugas sebagai penjaga galery) untuk berkeliling ke masing-masing galery dan bertanya kepada masing-masing penjaga tentang gambar yang dipajang dengan bahasa Arab.

Ø Setiap penjaga harus menjelaskan maksud dari gambar tersebut dalam bahasa Arab.

Ø Setelah waktu yang ditentukan habis, mintalah semua siswa untuk kembali ke kelas.

Ø Berikan komentar dan klarifikasi terhadap keseluruhan proses yang telah dilakukan, termasuk isi dari masing-masing bacaan yang telah dipelajari.

Di samping beberapa strategi tersebut, pembelajaran kalam juga dapat dikembangkan secara kreatif dan lebih banyak mengaktifkan siswa dengan menggunakan berbagai media dan permainan bahasa. Bentuk-bentuk permainan bahasa tersebut akan dijelaskan dalam pembahasan media pembelajaran bahasa Arab.

C. Strategi Pembelajaran Qira’ah

Pembelajaran qira’ah (membaca) seringkali disebut dengan pelajaran muthala’ah (menela’ah). Keduanya memang sama-sama belajar yang berbasis bacaan. Namun demikian, kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Qira’ah dapat diartikan sebagai pelajaran membaca, sedangkan muthala’ah lebih menekankan pada aspek analisis dan pemahaman terhadap apa yang dibaca. Karena keduanya memiliki perbedaan penekanan, maka dalam pemilihan metode atau strategi pembelajarannya pun tentu akan terdapat perbedaan. Kedua istilah tersebut juga dapat dipahami sebagai proses, artinya bahwa ketrampilan membaca itu meliputi latihan membaca dengan benar sampai dengan taraf kemampuan memahami dan menganalisis isi bacaan.

Beberapa strategi pembelajaran aktif berikut dapat dipertimbangkan oleh pengajar dalam mengajarkan materi qira’ah atau muthala’ah.

1. Strategi 1 (Empty Outline)

Tujuan dari strategi ini biasanya digunakan untuk melatih kemampuan siswa dalam menuangkan isi dari yang dibaca ke dalam bentuk tabel. Isi dari tabel tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan atau tujuan pembelajarannya. Misalnya dalam pelajaran qira’ah tujuannya adalah agar siswa dapat menemukan sejumlah kata benda (isim) dan kata kerja (fi’il) yang ada dalam bacaan. Untuk kebutuhan tersebut, maka tabel yang dibuat harus minimal terdiri atas dua kolom yang berisi deretan isim dan fi’il. Adapun jumlah barisnya tergantung dari jumlah kata maksimal yang dapat ditemukan atau jumlah minimal yang harus ditemukan dari bacaan tersebut. Strategi ini dapat digabungkan dengan teknik The Power of Two. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Pilihlah bacaan sesuai dengan topik pembahasan yang telah ditentukan.

Ø Siapkan format tabel yang akan ditugaskan kepada para siswa untuk mengisinya.

Ø Bagikan bacaan tersebut pada masing-masing siswa, kemudian tugaskan mereka untuk membacanya dengan seksama.

Ø Mintalah para siswa untuk mengisi tabel yang telah dipersiapkan.

Ø Mintalah para siswa untuk bergabung dua-dua (dengan teman di sebelahnya) kemudian mendiskusikan hasil kerja mereka masing-masing.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menyampaikan (presentasi) hasil pekerjaan mereka setelah didiskusikan.

Ø Berikan klarifikasi terhadap hasil kerja siswa tersebut agar tidak terjadi kesalahan.

Contoh tabel yang digunakan adalah:

Isim

Fi’il







2. Strategi 2 (Analysis)

Tujuan dari penggunaan strategi ini diantaranya adalah untuk melatih siswa dalam memahami isi bacaan dengan cara menemukan ide utama dan ide-ide pendukungnya. Proses penemuannya dapat dimulai secara individual kemudian dilakukan diskusi dalam kelompok sebelum akhirnya dipresentasikan. Strategi ini disamping melatih ketajaman analisis terhadap isi bacaan juga dapat melatih untuk menemukan alur pikir dari penulisnya. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Bagikan teks/bacaan kepada masing-masing siswa.

Ø Mintalah semua siswa untuk membaca teks tersebut dengan seksama.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menentukan (menuliskan) ide utama dan pendukung secara individu.

Ø Mintalah siswa untuk berkelompok dan mendiskusikan hasil masing-masing.

Ø Mintalah beberapa siswa untuk menyampaikan hasilnya (presentasi) di depan kelas mewakili kelompoknya.

Ø Berikan kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan komentar atau pertanyaan.

Ø Berikan klarifikasi terhadap hasil kerja siswa tersebut agar pemahaman terhadap bacaan semakin baik.

3. Strategi 3 (Snow Bolling)

Strategi ini sangat umum digunakan baik dalam pembelajaran bahasa maupun lainnya. Nama strategi ini biasa disebut snow bolling. Pada praktekknya, strategi ini hampir sama dengan the power of two atau small group presentation. Yang membedakan hanyalah prosesnya, dimana snow bolling berjalan melalui beberapa tahap tergantung banyak sedikitnya jumlah siswa yang ada. Strategi ini cukup efektif digunakan apabila jumlah kelasnya tidak terlalu besar, dan dimaksudkan agar masing-masing siswa mendapatkan masukan sebanyak-banyaknya dari teman mereka yang lain. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Bagikan teks kepada masing-masing siswa.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk membaca teks tersebut.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menentukan ide utama dan pendukung secara individu.

Ø Mintalah siswa untuk berkelompok dua-dua dan mendiskusikan hasil kerja masing-masing.

Ø Gabungkanlah setiap dua kelompok menjadi satu (menjadi empat orang) untuk mendiskusikan hasil masing-masing.

Ø Gabungkanlah setiap dua kelompok menjadi satu (menjadi delapan orang) untuk mendiskusikan hasil masing-masing. Begitu seterusnya sampai menjadi kelompok paling besar (satu kelas) atau dengan jumlah tertentu yang dianggap cukup.

Ø Mintalah siswa untuk menyampaikan (presentasi) hasilnya di depan kelas.

Ø Berikan klarifikasi terhadap hasil yang telah dirumuskan oleh siswa tersebut.

4. Strategi 4 (Broken Square/Text)

Penggunaan dari strategi ini adalah untuk merangkaikan kembali bacaan yang sebelumnya telah dipotong-potong. Strategi ini dapat diterapkan untuk melatih siswa dalam menyusun sebuah naskah yang sistematis. Siswa juga dilatih untuk memahami isi bacaan tidak hanya secara global, tetapi sampai pada bagian-bagian yang paling kecil sampai akhirnya dapat menyusun kembali bacaan tersebut secara runtut. Secara teknis, strategi ini dapat dipraktikkan untuk mengurutkan kalimat-kalimat dalam satu alinea, atau mengurutkan beberapa alinea dalam satu bacaan lengkap. Biasanya strategi ini diterapkan pada naskah yang berisi sebuah cerita/kisah. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Siapkan sebuah naskah cerita yang dipotong-potong menjadi beberapa bagian.

Ø Bagilah siswa ke dalam beberapa kelompok kecil.

Ø Berilah teks/potongan-potongan tersebut pada masing-masing kelompok.

Ø Mintalah semua siswa membaca teks secara bergantian dalam kelompoknya masing-masing.

Ø Mintalah semua siswa untuk memahami potongan-potongan kalimat tersebut dalam kelompoknya.

Ø Mintalah siswa untuk mengurutkan potongan-potongan teks tersebut.

Ø Setelah kerja kelompok selesai, mintalah masing-masing kelompok menyampaikan (mempresentasikan) hasilnya di depan kelas.

Ø Berikan kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan komentar atau pertanyaan.

Ø Berikan klarifikasi terhadap hasil kerja kelompok tersebut sehingga terjadi kesamaan pemahaman terhadap materi yang diajarkan.

5. Strategi 5 (Index Card Match)

Strategi ini biasanya digunakan untuk mengajarkan kata-kata atau kalimat dengan pasangannya. Misalnya kata dengan artinya, atau soal dengan jawabannya, dan sebagainya. Dalam pembelajaran qira’ah dapat juga diterapkan untuk melakukan evaluasi terhadap pemahaman siswa pada isi bacaan dengan membuat kartu-kartu soal dan jawabannya. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Siapkan kartu berpasangan (soal dan jawabnya) lalu diacak.

Ø Bagikan kartu tersebut kepada semua siswa dan mintalah mereka memahami artinya.

Ø Mintalah semua siswa untuk mencari pasangannya masing-masing dengan tanpa bersuara.

Ø Setelah menemukan pasangannya, mintalah siswa berkelompok dengan pasangannya masing-masing.

Ø Mintalah masing-masing kelompok untuk menyampaikan (mempresentasikan) hasilnya di depan kelas.

Ø Berikan kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan komentar atau pertanyaan.

Ø Berikan klarifikasi terhadap hasil kerja kelompok tersebut.

D. Stretegi Pembelajaran Kitabah

Kitabah seringkali disebut juga dengan insya’. Kedua istilah tersebut sama-sama digunakan untuk menunjukkan ketrampilan berbahasa dalam bentuk tulisan. Pembelajaran kitabah, sebagaimana ketrampilan yang lain juga memiliki tingkatan. Ketrampilan menulis yang paling mendasar adalah ketrampilan menuliskan huruf-huruf Arab baik secara terpisah maupun bersambung. Setelah kemampuan ini dikuasai, barulah dapat ditingkatkan pada kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragrap, sampai akhirnya dapat membuat sebuah artikel, atau tulisan secara utuh. Dalam tulisan ini strategi pembelajaran kitabah lebih diarahkan pada siswa yang telah menguasai kaidah-kaidah menulis huruf Arab dan mengenal cukup banyak kosa kata bahasa Arab. Beberapa strategi yang dapat digunakan antara lain;

1. Strategi 1 (Al-Insya’ min ash-Shuwar)

Strategi ini berupaya untuk melatih siswa dalam menulis sebuah kalimat atau mengarang dengan mendasarkan pada sebuah gambar. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Tampilkan sebuah gambar di depan kelas, misalnya sebuah gambar pemandangan, gambar perilaku keseharian dan sebagainya.

Ø Mintalah masing-masing siswa menyebutkan sebuah nama dengan bahasa Arab yang ada dalam gambar tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya mufradat.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menuliskan sebuah kalimat dari kata-kata tersebut. Jika proses ini berjalan lancar barulah dapat dilanjutkan pada proses berikutnya (menulis cerita). Tetapi jika tahap ini belum berjalan dengan baik, sebaiknya jangan dulu melangkah ke bentuk cerita.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menuliskan beberapa kalimat yang menceritakan tentang gambar tersebut.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk membacakan hasilnya (jika dibutuhkan dapat dilakukan proses snow bolling atau power of two).

Ø Berikan komentar dan evaluasi terhadap hasil kerja masing-masing siswa tersebut.

2. Strategi 2 (Guided Composition)

Strategi ini dalam bahasa Arabnya disebut الإنشاء الموجه. Tujuan dari strategi ini adalah untuk memberikan latihan kepada siswa dalam membuat kalimat mulai dari kalimat yang paling sederhana (singkat). Proses penyusunan kalimat tersebut didasarkan pada penentuan kata-kata kunci dan mengembangkannya dalam bentuk kalimat. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Tentukan satu kata kunci.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk membuat 2 kalimat dari kata tersebut.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menggabungkan 2 kalimat tersebut tanpa merubah isinya. Penggabungan ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, misalnya dengan menggunakan huruf ‘athaf.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menggabungkan 2 kalimat tersebut dengan merubah posisi/urutannya. Dalam tahap ini kalimat pertama dapat saja dicampur dengan kalimat kedua sehingga memberikan arti yang berbeda dari sebelumnya.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menggabungkan 2 kalimat tersebut dengan menambahkan 1 atau 2 kata baru. Dalam tahap ini tidak menutup kemungkinan merubah arti dari kalimat tersebut.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk membuat 1 kalimat baru yang mendukung kalimat sebelumnya.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk membacakan hasilnya (presentasi) secara bergantian.

Ø Berilah kesempatan kepada siswa lain untuk memberi komentar/koreksi.

Ø Berikan klarifikasi terhadap hasil kerja masing-masing siswa.

Jika jumlah siswa yang ada terlalu banyak, dapat juga dilakukan proses small group discussion atau power of two untuk melakukan presentasi dari hasil kerja masing-masing.

3. Strategi 2 (Paragraph Building)

Strategi ini biasanya digunakan untuk pembelajaran dengan tujuan melatih ketrampilan siswa untuk mengembangkan ide. Prosesnya dimulai dari sebuah topik, kemudian dijabarkan dalam beberapa kalimat yang akhirnya menjadi beberapa paragrap. Strategi ini sangat membantu untuk melatih siswa dalam menulis karya tulis ilmiah. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Berikanlah introduction yang menjelaskan secara umum tentang sesuatu yang terkait dengan bentuk-bentuk kalimat dan paragrap.

Ø Tentukan sebuah topik, kemudian dari topik tersebut buatlah sebuah kalimat atau statemen (thesis statement) yang disepakati seluruh siswa.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk membuat kalimat tentang topik tersebut sebanyak 7 kalimat. Tahap ini diharapkan siswa menuliskan kalimat-kalimat yang berbeda dan merupakan ide-ide utama (main ideas) dari topik tersebut.

Ø Berilah kesempatan kepada siswa untuk mengoreksi tulisannya masing-masing.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk saling mengoreksi tulisan teman disampingnya.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk membuat beberapa kalimat pendukung (supporting detail) dari masing-masing kalimat tersebut yang kemudian membentuk sebuah paragrap. Jika ini dilakukan, maka akan terbentuk 7 buah paragrap.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk membacakan hasilnya (presentasi) di depan kelas. Jika dirasa perlu, dapat kembali diberi kesempatan untuk saling mengoreksi sebelum dipresentasikan.

Ø Berikan klarifikasi terhadap hasil kerja siswa sehingga beberapa kesalahan yang ada dapat dibenarkan.

E. Strategi Pembelajaran Qawa’id

Pembelajaran qawa’id dalam beberapa lembaga pendidikan seringkali dipisahkan menjadi dua, yaitu pembelajaran nahwu dan sharaf. Keduanya memiliki karakteristik materi yang berbeda. Dengan demikian, jika keduanya berdiri sendiri, maka strategi pembelajarannya tentu akan berbeda pula. Dalam tulisan ini, pembelajaran qawa’id yang ditawarkan tidak memisahkan antara nahwu dan sharaf, artinya materi yang disampaikan mencakup kedua ketrampilan tersebut. Di samping itu strategi pembelajaran qawa’id di sini lebih menekankan pada qawa’id tathbiqiyah (terapan). Beberapa strategi yang dapat digunakan adalah:

1. Strategi 1 (The Power of Two)

Strategi ini menggunakan pendekatan kerjasama antara dua orang yang biasa disebut dengan the power of two. Pada dasarnya strategi ini dapat digunakan untuk mengajarkan berbagai macam ketrampilan bahasa termasuk pembelajaran qawaid. Sebagai contoh, tujuan yang ingin dicapai adalah siswa mampu membedakan antara isim, fi’il, dan huruf. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Siapkan kertas latihan. Model yang digunakan dapat berupa bacaan yang di dalamnya terdapat kata-kata yang ingin dipelajari. Latihan juga dapat berupa daftar kata-kata yang merupakan campuran dari ketiga jenis kata tersebut.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk mengerjakan latihan tersebut (misalnya melakukan kategorisasi terhadap tiga macam kata tersebut).

Ø Mintalah siswa untuk berkelompok dua-dua dan mendiskusikan hasil kerja masing-masing.

Ø Mintalah masing-masing kelompok untuk menyampaikan (presentasi) hasil kerja mereka.

Ø Berikan kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan komentar atau pertanyaan.

Ø Berikan klarifikasi terhadap hasil kerja kelompok tersebut agar tidak terjadi kesalahan.

2. Strategi 2 (Small Group Presentation)

Secara prinsip, langkah-langkah strategi ini sama dengan yang sudah dijelaskan di atas. Strategi ini dapat digunakan untuk mengajarkan ketrampilan qawa’id. Misalnya untuk latihan menyusun kalimat dengan bentuk yang sudah ditentukan, seperti membuat jumlah ismiyah atau jumlah fi’liyah. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Siapkan kertas yang berisi potongan-potongan kata. Misalnya berisi kata benda (untuk membuat jumlah ismiyah) atau kata kerja (untuk membuat jumlah fi’liyah).

Ø Bagilah siswa dalam kelompok-kelompok kecil (3-5 orang).

Ø Mintalah masing-masing kelompok menuliskan kalimat yang disusun dari kata-kata tersebut.

Ø Mintalah masing-masing kelompok untuk menyampaikan hasilnya (presentasi) di depan kelas.

Ø Berikan kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan komentar atau pertanyaan.

Ø Berikan klarifikasi terhadap kerja kelompok tersebut dengan memberikan tambahan penjelasan tentang struktur kalimat yang telah mereka pelajari.

3. Strategi 3 (Chart Short)

Sesuai dengan namanya, strategi ini menggunakan media kartu (kertas yang dipotong-potong). Ukuran dari kartu tersebut dapat disesuaikan dengan materi yang akan dipelajari. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menyusun kartu-kartu tersebut sesuai dengan isinya. Model ini juga dapat digunakan untuk melakukan analisis kalimat dari segi strukturnya. Contoh berikut adalah untuk menganalisis kalimat. Langkah-langkahnya adalah:

1. Siapkan kertas yang telah ditulisan dengan kalimat dengan struktur yang berbeda-beda. Dalam hal ini sebaiknya diusahakan agar kalimat yang memiliki struktur sama dituliskan lebih dari satu kartu agar siswa dapat berkelompok sesuai dengan jenis kartunya.

2. Bagikan kartu-kartu tersebut kepada para siswa secara acak.

3. Mintalah masing-masing siswa berkelompok sesuai dengan kategori kalimat yang ada dalam kartu masing-masing.

4. Mintalah masing-masing kelompok menuliskan kalimat-kalimat yang serupa tersebut dalam kertas plano/transparansi.

5. Mintalah masing-masing kelompok menyampaikan hasilnya (presentasi) di depan kelas.

6. Berikan kesempatan kelompok lain untuk memberikan komentar atau pertanyaan.

7. Berikan klarifikasi secara menyeluruh dari hasil kerja kelompok tersebut.

F. Strategi Pembelajaran Mufrodat

Pembelajaran mufrodat dalam pelajaran bahasa Arab di Madrasah biasanya berada di bagian awal bab. Proses pembelajaran mufrodat dapat dilaksanakan bersamaan dengan penyampaian materi lainnya, ataupun disempaikan sendiri. Apabila disampaikan sendiri, maka dapat digunakan beberapa alternatif strategi, yaitu:

1. Strategi 1 (Puzzle)

Strategi ini menggunakan pendekatan permainan sebagaimana layaknya teka-teki silang (TTS). Fokusnya adalah pada penguasaan kosa-kata sebanyak mungkin. Semakin banyak perbendaharaan kosa kata yang dimiliki siswa, memungkinkan sebakin banyak hasil yang diperolehnya. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Buatlah tabel berisi huruf-huruf dengan beberapa kata kunci.

Ø Bagikan kertas berisi tabel tersebut kepada para siswa.

Ø Mintalah siswa untuk menemukan mufrodat sebanyak-banyaknya dari tabel tersebut (dapat mendatar, menurun, maupun diagonal dan sebaliknya)

Ø Mintalah masing-masing untuk menyampaikan hasilnya (presentasi)

Ø Berikan klarifikasi secara menyeluruh dari hasil para siswa tersebut.

Contoh puzzle adalah sebagai berikut:

ت

د

ل

ب

ا

ن

م

ر

غ

ح

م

ث

ن

ر

د

ي

س

ص

ة

لا

خ

و

ب

ص

ل

2. Strategi 1 (Scrible)

Strategi ini hampir sama dengan puzzle, akan tetapi cara penggunaannya yang berbeda. Jika puzzle siswa diajak untuk mencari kosa-kata, maka pada scrible ini siswa diajak untuk menemukan kosa-kata baru yang dikembangkan dari huruf-huruf yang sudah ada sebelumnya. Langkah-langkahnya adalah:

Ø Buatlah tabel berisi huruf-huruf dengan beberapa kata kunci, dan kosongkan bagian yang lain.

Ø Bagikan kertas berisi tabel tersebut kepada para siswa.

Ø Mintalah siswa untuk membuat kosa-kata (mufrodat) baru dengan mengaitkan kosa-kata baru tersebut pada kosa kata yang sudah ada, sehingga salah satu atau beberapa hurufnya menggunakan huruf yang sudah ada.

Ø Mintalah masing-masing siswa untuk menyampaikan hasilnya (presentasi).

Ø Berikan klarifikasi secara menyeluruh dari hasil para siswa tersebut.

Contoh scrible adalah sebagai berikut:








أ




ن

م

ز












Tuesday, November 25, 2008

MADRASAH DAN PESANTREN SEBAGAI INSPIRATOR MODEL PENDIDIKAN UNGGUL

A. Pendahuluan

Krisis multidimensional yang melanda Indonesia telah membuka mata kita terhadap mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dan secara tidak langsung juga merujuk pada mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu sendiri. Meskipun sudah merdeka lebih dari setengah abad, akan tetapi mutu pendidikan Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah dan memprihatinkan. Hal tersebut setidaknya dapat kita ketahui dengan melihat 2 (dua) indikator sekaligus, yaitu indikator makro seperti pencapaian Human Develompement Index (HDI) dan indikator mikro seperti misalnya kemampuan membaca.

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004. Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 47 negara. Sedangkan, Singapura berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas, terungkap bahwa produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya kepercayaan diri, kurang kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter).

Kondisi terpuruknya kualitas SDM di Indonesia ini pada akhirnya adalah karena kualitas pendidikan di Indonesia yang masih rendah. Memang banyak sekolah yang memiliki kualitas bagus, tetapi jika dibandingkan dengan prosentase sekolah yang masih tergolong kurang maju jumlahnya belum sepadan. Apalagi jika melihat pada kualitas pendidikan madrasah yang sebenarnya merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Memang cukup ironis, bahwa sekolah yang telah memberikan banyak andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tersebut kurang mendapatkan perhatian dan penanganan yang baik dari pemerintah. Maka tidak mengherankan jika kemudian muncul kesan di masyarakat bahwa pendidikan madrasah merupakan lembaga pendidikan kelas dua.

Realitas tersebut sungguh sangat kontradiktif dengan semakin banyaknya bermunculan lembaga pendidikan umum yang bercirikan Islam di semua tingkatan. Padahal apabila dikaji secara seksama, sebenarnya konsep pengembangan sekolah-sekolah umum bercirikan Islam tersebut sadar atau tidak, langsung ataupun tidak sebenarnya telah mengadopsi model dan konsep pendidikan madrasah dan pondok pesantren.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka perlu dikaji secara filosofis hakekat pendidikan madrasah dan bagaimana kontribusinya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Makalah ini akan berupaya untuk mengungkapkan dan menganalisis konsep pendidikan madrasah dan bagaimana kontribusinya bagi pengembangan pendidikan di Indonesia, serta berusaha memberikan alternatif solusi guna pengembangan madrasah menjadi lembaga pendidikan yang bermutu.

B. Pembahasan

1. Perkembangan Madrasah

Perkembangan pendidikan Islam identik dengan perkembangan pondok pesantren. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran Islam dilaksanakan di pondok pesantren. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Malik Fadjar, 1998). Dengan konsep dikotomi keilmuan yang masih kuat, maka kualitas pendidikan Islam pada awal perkembangannya di Indonesia menjadi pendidikan kelas dua setelah pendidikan umum. Bahkan hal ini terus berkembang sampai saat ini, meskipun sebenarnya sejak masa Menteri Pendidikan Malik Fajar, telah diupayakan adanya kesetaraan antara pendidikan madrasah dengan pendidikan umum. Jadi madrasah bukan lagi sekolah umum yang bercirikan Islam, sebagaimana konsep yang dilontarkan pada masa Menteri Agama Tarmidzi Taher, tetapi madrasah adalah sama dengan sekolah umum, hanya induknya saja yang berbeda, yaitu Depag dan Diknas.

Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, "diperlukan suatu disain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, sebagaimana dikutip oleh H.A.R.Tilar, (1998 : 245) apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan". Untuk itu, pendidikan Islam perlu didisain untuk menjawab tantangan prubahan zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas sumberdaya insaninya, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta mengkonstruksinya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat tersebut.

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Namun demikian perhatian pemerintah terhadap keberadaan madrasah masih sangat kurang, bahkan menurut Yahya Umar menyebutnya sebagai "forgotten community". Pernyataan Yahya Umar tersebut bagi banyak orang mungkin mengejutkan, namun realitas membenarkannya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management Syatem) Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama, jumlah madrasah (Madrasah Ibtidaiyah/MI (SD), Madrasah Tsanawiyah/MTs (SMP) dan madrasah Aliyah/MA (SMA)) sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk madrasah diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus negeri.

Pada saat ini ada sekitar 15.000 pesantren dan sekitar 40.000 madrasah (termasuk yang ada didalam pesantren) yang tersebar di seluruh Indonesia. Data 2007 menunjukkan bahwa terdapat 23.517 Madrasah Ibtidaiyah, 93% adalah milik swasta. Madrasah Tsanawiyah berjumlah 12.054, 90% adalah milik swasta. Madrasah Aliyah berjumlah 4.687, 86% adalah milik swasta. Sebagai perbandingan, Sekolah Dasar yang dimiliki swasta hanya 6%. Kondisi fisik dan mutu madrasah swasta itu kebanyakan tidak memuaskan (H. Salahuddin Wahid, http://ponpes.tebuireng.net/ blog_view_2).

Kondisi status kelembagaan madrasah ini dapat digunakan untuk membaca kualitas madrasah secara keseluruhan, seperti keadaan guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan sarana pendukung lainnya, karena keberadaan lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah di tanah air pada umumnya sangat tergantung kepada pemerintah. Atas dasar itu, tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa madrasah-madrasah swasta yang berjumlah 32.523 buah mengalami masalah yang paling mendasar yaitu berjuang keras untuk mempertahankan hidup, bahkan sering disebut lâ yamûtu walâ yahya (tidak hidup dan perlu banyak biaya (agar tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia (Tobroni, 2007).

2. Karakteristik Dasar Pendidikan Madrasah dan Problematikanya

Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam (Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986 : 2). Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, (1995 : 26) "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah”.

Menurut Moh Athiya al Abrasyi (1970), tujuan umum pendidikan Islam yang asasi ialah : membentuk akhlak mulia, persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat, persiapan untuk mencari rezeki dan memelihara kemanfaatan, menumbuhkan sifat ilmiah kepada pelajar, menyiapkan pelajar kearah profesionalisme.

Pendidikan madrasah yang berbasis pesantren maupun yang tidak berbasis pesantren pada dasarnya memiliki karakter yang sama dalam beberapa hal, dan berbeda dalam hal yang lain. Namun demikian sebenarnya keduanya memiliki misi yang sama. Untuk itu dalam kajian ini karakteristik yang akan dijelaskan adalah karakteristik madrasah berbasis pesantren yang secara otomatis mencakup madrasah non pesantren.

a. Memiliki muatan kurikulum agama lebih banyak

Pada awalnya madrasah memiliki kurikulum pendidikan agama yang lebih banyak dibandingkan pendidikan umum dengan perbandingan 60 % dibanding 40%. Dengan perbandingan tersebut, menjadikan madrasah lebih kental dengan karakter ke-Islamannya. Namun demikian dengan adanya penyamaan antara madrasah dengan sekolah umum, menjadikan kurikulum madrasah berubah menyesuaikan sekolah umum dengan perbandingan pendidikan agama 30% dan pendidikan umum 70%. Hal ini berarti telah menghilangkan karakteristik madrasah yang selama ini dipertahankan. Apalagi dengan adanya ujian akhir nasional (UAN) yang tidak menggunakan standar tunggal untuk semua jenis sekolah, menjadikan madrasah ikut-ikutan sekolah umum untuk lebih berkonsentrasi pada bidang studi yang diikutkan dalam UAN. Dengan demikian lambat laun pendidikan agama semakin terpinggirkan.

Di sisi lain, justru semakin banyak sekolah umum yang mengembangkan diri menjadi sekolah berkarakter Islam. Hal ini dilakukan dengan menambah materi agama lebih banyak dan menambah jam pelajaran sampai dengan sore hari. Tidak hanya itu, tetapi juga menambah label sekolahnya menjadi sekolah unggulan atau terpadu. Sudah pasti, hal yang demikian semakin menambah terpuruknya kondisi madrasah karena para siswa yang tadinya lebih memilih madrasah karena pendidikan agamanya, sekarang beralih ke sekolah umum yang notabene lebih maju dan tetap mendapatkan pelajaran agama yang banyak.

b. Berbasis masyarakat

Madrasah sejak awal sejarah berdirinya, pada umumnya adalah bagian dari pondok pesantren atau setidaknya didirikan oleh masyarakat muslim. Dengan demikian sumber daya yang dibutuhkan madrasah juga berasal dari masyarakat. Bahkan sejak awal munculnya madrasah sampai dengan tahun 90-an, madrasah seakan-akan lembaga swadaya masyarakat yang tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Kebijakan pemerintah dengan menerapkan MBS (manajemen berbasis sekolah) atau community based school sebenarnya telah dimiliki dan diterapkan oleh madrasah sejak lama. Namun demikian pada saat ini nampaknya peran serta masyarakat dalam menopang penyelenggaraan madrasah sudah mulai berkurang. Munculnya kebijakan pemerintah untuk melarang sekolah menarik pungutan dan menggantinya dengan BOS (bantuan operasional sekolah) atau BOM (bantuan operasional madrasah) telah turut melunturkan karakteristik madrasah sebagai sekolah berbasis masyarakat.

c. Mengembangkan kurikulum berdasarkan kekhasan lembaga

Sebuah madrasah biasanya didirikan dengan kekhasan masing-masing. Ada yang memiliki kekhasan sesuai dengan organisasi keagamaan atau yayasan yang mendirikan, ada pula yang memiliki kekhasan sesuai dengan pondok pesantrennya. Misalnya ada madrasah ma’arif, mu’allimin, dan mu’allimat yang khas dengan NU-nya, atau madrasah Muhammadiyah, Persis, dan sebagainya.

Dengan kekhasan masing-masing tersebut, sudah barang tentu berimbas pada penyusunan kurikulum yang dikembangkan. Masing-masing mengembangkan kurikulum sesuai dengan visi-misi lembaganya masing-masing. Pola inilah yang pada saat ini dikembangkan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

d. Siswa tinggal di asrama/pesantren

Ciri khas madrasah pesantren adalah adanya asrama atau pondok untuk para santri atau siswanya. Model pembelajaran pesantren seperti ini sangat baik untuk pembentukan kepribadian siswa. Setiap hari siswa dibimbing untuk melakukan praktik peribadahan dan kegiatan keagamaan lainnya di samping pemahaman keagamaan yang cukup kuat. Dengan demikian pembelajaran agama tidak hanya dilakukan di kelas tetapi juga di luar kelas selama 24 jam.

Model sekolah berasrama ini kemudian diadopsi secara penuh oleh sekolah-sekolah umum dengan mengembangan sistem boarding school. Ada juga yang mengembangkan pola pesantren tersebut tetapi tidak penuh dengan menambah jam pelajaran sampai sore (full day school) yang ditekankan pada penambahan pemahaman dan pengamalan agama.

Dengan semakin banyaknya sekolah umum yang mengembangkan model madrasah pesantren tersebut, sekali lagi tidak menjadikan madrasah sebagai pelopor pengembangan model sekolah terpadu, tetapi justru tergeser dan tergusur oleh berbagai sekolah terpadu tersebut.

e. Penguasaan bahasa Arab (asing) sangat ditekankan

Ciri khas dari pesantren salaf (klasik) adalah adanya pembelajaran kitab kuning. Hal ini juga mewarnai sistem pembelajaran di madrasah. Hanya saja untuk pembelajaran di madrasah tidak mesti menggunakan kitab kuning. Meskipun demikian pembelajaran bahasa asing khususnya Arab sangat ditekankan. Di samping itu, karena madrasah juga mengikuti kurikulum yang dikembangkan di sekolah umum, maka juga diajarkan bahasa Inggris di madrasah. Dengan demikian, maka madrasah sebenarnya memiliki kelebihan dari sekolah umum di bidang penguasaan bahasa asing.

Dalam konteks sekolah umum pada saat ini, penekanan pada penguasaan bahasa asing tersebut juga dilakukan. Hal ini terutama diterapkan pada sekolah-sekolah yang dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Hanya saja yang membedakan adalah nasib madrasah yang telah mengembangan pembelajaran 2 bahasa asing tersebut tidak seberuntung sekolah-sekolah tertentu yang didesain menjadi SBI. Bahkan sampai saat ini belum ada madrasah yang dikembangkan menjadi SBI.

Hal tersebut sangat ironis kalau melihat potensi madrasah yang sebenarnya sudah cukup siap. Apalagi jika melihat pada anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk penyelenggaraan SBI tersebut, tentu saja madrasah pantas merasa iri. Kebijakan pemerintah mengenai SBI selain didukung secara konstitusi dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 50 ayat (3), dan juga - menurut Satria Dharma -, SBI merupakan proyek prestisius, karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut (http/www.satriadharma.wordpress.com).

3. Alternatif Pengembangan Madrasah

Kondisi sebagian besar madrasah pada saat ini sedang menghadapi persoalan serius. Menurut Yahya Umar, pada saat masih menjabaat dirjend pendidikan Islam Depag, beliau mengatakan bahwa madrasah diibaratkan sebagai mobil tua sarat beban. Kurikulum madrasah adalah 130 % dari kurikulum sekolah karena komposisi kurikulum 70:30 (umum: agama) dan mata pelajaran umum madrasah sama dengan yang ada di sekolah. Apabila dilihat dari missinya, disamping sebagai sekolah juga sebagai lembaga dakwah. Sedangkan apabila dilihat dari kondisi guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan faktor-faktor pendukung lainnya kondisinya serba terbatas, untuk tidak mengatakan sangat memprihatinkan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kondisi madrasah sebagian besar menghadapi siklus negatif atau lingkaran setan tak terpecahkan (unsolved problems): kualitas raw input (siswa, guru, fasilitas) rendah, proses pendidikan tidak efektif, kualitas lulusan rendah, dan kepercayaan stake holder terutama orangtua dan pengguna lulusan rendah.

Kondisi seperti itu membutuhkan penanganan yang serius guna melakukan perubahan menuju ke arah menyehatkan madrasah. Dalam rangka untuk menyehatkan madrasah tersebut, maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana menjadikan karakteristik madrasah yang baik menjadi kekuatan penggerak untuk mendesain madrasah unggulan, dengan tetap mempertahankan/konsisten dengan karakteristiknya sendiri.

Kebijakan pemerintah untuk menyelenggaraan SBI (sekolah bertaraf internasional) mestinya juga dapat dilakukan terhadap madrasah. Jika dilihat dari sisi filosofis, kebijakan tersebut didasarkan pada filsafat eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Aliran filsafat eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif, menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik (Kir Haryana, 2007).

Eksistensialisme berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ), emosional (EQ), dan Spiritual (SQ).

Sedangkan esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional. Dalam mengaktualkan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilainya.

Pengembangan madrasah juga perlu mengacu pada Standar Nasional Pendidikan yang meliputi; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian (Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).

Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka secara konkrit upaya pengembangan madrasah tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

a. Pengembangan manajemen kelembagaan

Madrasah sebagai sebuah organisasi perlu melakukan pengembangan kelembagaan secara terus menerus. Sebuah pengembangan dalam organisasi memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah; terencana dan jangka panjang, berorientasi pada masalah, merefleksikan pendekatan sistem, berorientasi pada tindakan, melibatkan agen perubahan, dan melibatkan prinsip pembelajaran (Gobson, Ivancevich dan Donelly, dalam Abdul Azis Wahab, 2008: 318-319).

Dengan beberapa karakteristik tersebut, maka pengembangan madrasah perlu dilakukan secara sistemik dan sistematis. Misalnya dengan merumuskan kembali visi madrasah tersebut, kemudian merumuskan langkah-langkah yang strategis untuk mencapai misi tersebut. Tentu saja dalam hal ini perlu dipertahankan adanya karakteristik madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menekankan pada aspek pembelajaran agama, memprioritaskan pada pendalaman dan pengamalan ajaran agama dengan akhlakul karimah sebagai indikatornya.

Madrasah mestinya tidak perlu terpengaruh oleh lembaga pendidikan lain yang bermunculan dengan berbagai label unggulannya. Hal ini dikarenakan pada umumnya sebenarnya justru mengadopsi sistem model madrasah secara tidak langsung. Untuk itu yang perlu dikedepankan adalah bagaimana membuat manajemen kelambagaan yang bagus kemudian mengkomunikasikannya kepada masyarakat.

b. Mempertahankan karakter utama madrasah

Berbagai karakteristik madrasah yang telah dikemukakan di atas merupakan kekuatan yang luar biasa dari madrasah. Untuk itu perlu dipertahankan agar karakteristik madrasah tidak luntur. Strategi yang dilakukan untuk mempertahankan karakteristik tersebut adalah dapat dilakukan dengan menggali dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki.

Misalnya, madrasah tetap mempertahankan muatan pendidikan agama 70% kemudian mengembangkan muatan pendidikan umum dari 30% menjadi 60% sesuai dengan kurikulum di sekolah umum. Artinya, muatan keagamaan tidak dikurangi, tetapi dipertahankan dan ditambah dengan muatan umum. Dengan demikian maka karakteristik madrasah tidak akan hilang. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan penambahan waktu (jam pelajaran), sehingga madrasah perlu mengembangkan model pembelajaran menjadi sampai sore hari. Apabila madrasah tersebut telah menjadi bagian dari pesantren, maka untuk mewujudkan hal ini akan lebih mudah. Dengan cara seperti ini, madrasah akan dapat menghasilkan output yang lebih baik dibandingkan sekolah umum yang bercirikan Islam, karena memiliki basis organisasi dan budaya yang lebih kuat.

Madrasah harus berani tampil dengan jati dirinya sendiri, tidak perlu mengorbankan materi agama untuk menambah materi umum hanya demi mengejar target pada UAN.

c. Peningkatan kualitas SDM

Untuk membentuk suatu organisasi yang kuat, maka dibutuhkan SDM yang berkualitas dan profesional. Demikian pula dengan SDM madrasah yang selama ini dijadikan alasan rendahnya mutu pendidikan. Alasan yang sering dikemukakan adalah sedikitnya guru yang PNS, pendidikan relatif rendah, dan kurang profesional. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan mutu SDM.

Ricky W. Griffin, yang dikutip oleh Fred C. Lunenburg dan Allan C. Ornstein (2004: 595) mengemukakan berbagai alternatif teknik pengembanan profesionalisme. Di antara teknik tersebut yang mungkin relevan dan dapat dilakukan adalah; dengan pelatihan, on the job, simulasi, diskusi kasus, dan role playing.

Banyak aspek dari SDM madrasah yang dapat dikembangkan. Dari aspek manajemen, dapat dikembangkan kemampuan manajerialnya. Dari aspek guru dapat dikembangkan kemampuan pedagogisnya yang secara umum dapat dikaitkan dengan kemampuan dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Dari aspek karyawan dapat dikembangkan kemampuan kinerja sesuai dengan job deskripsinya.

Proses pengembangan tersebut perlu dilakukan secara bertahap dan serius. Memang untuk melakukan suatu perubahan tidaklah mudah, karena pasti akan berhadapan dengan reaksi penolakan. Menurut teori medan kekuatan dari Kurt Lewin, sebagaimana dikutip oleh Nanang Fattah (2008: 40), bahwa setiap perilaku merupakan hasil keseimbangan antara kekuatan pendorong dengan kekuatan penolak. Individu mengalami dua hambatan utama untuk melakukan perubahan, yaitu tidak bersedia mengubah perilaku yang sudah mapan, dan perubahan itu hanya dalam waktu singkat (kembali ke pola perilaku lama). Untuk itu dibutuhkan tahapan, yaitu tahap pencairan, tahap pengubahan, dan tahap pembekuan.

C. Penutup

Dari pembahasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, kondisi madrasah pada saat ini memang masih mengalami ketertinggalan jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum. Bahkan madrasah kian terpinggirkan dengan semakin banyaknya sekolah umum yang bercirikan Islam berkembang secara lebih cepat. Sebuah hal yang sangat ironis manakala model pendidikan madrasah yang sudah cukup ideal tersebut tidak dapat dikembangkan dan diberdayakan menjadi sebuah desain madrasah yang unggul, tetapi justru diadopsi oleh sekolah umum dan dapat dikembangkan menjadi sekolah yang bermutu.

Untuk itu madrasah semestinya tidak perlu terpengaruh untuk mengikuti pola pengembangan sekolah umum yang dianggap lebih baik, sebaliknya madrasah justru perlu mempertahankan karakteristiknya dan mengembangkannya. Dalam hal ini, yang dibutuhkan madrasah sebenarnya adalah penguatan dan pengembangan kelembagaan, peningkatan kualitas SDM, dan mengembalikan ruh madrasah sebagai sekolah berbasis masyarakat dan berkarakteristik keagamaan yang kuat. Dengan demikian madrasah tidak hanya akan mampu bersaing dengan sekolah umum yang bercirikan Islam, tetapi justru akan menjadi sekolah Islam yang memiliki berkualitas dengan penguasaan pelajaran umum yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis Wahab, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan; Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2008.

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1995.

Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang. 1970.

Fadjar, M.A. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1998.

Fred C. Lunenburg, Allac C. Ornstein, Educational Administration; Concept and Practices, Belmont: Wadsworth/Thomson Learning, 2004.

H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I, 1998.

H. Salahuddin Wahid, Reorientasi Makna Pendidikan Pesantren Bagi Pembentukan Karakter Keilmuan Dan Keislaman Santri. http://ponpes.tebuireng.net/blog_view_2, tanggal 16-8-2008

Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cetakan kesembilan, 2008.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Syed Sajjad Husaian dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Education"., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah, Bandung, 1986.

Tobroni, Percepatan Peningkatan Mutu Madrasah, artikel. 2007.