Ahlan wa Sahlan

Anda berada dalam ruang pendidikan, pembelajaran, dan kebahasa-Araban. Blog ini menjadi tempat sharing pengalaman dan pengetahuan tentang apa saja yang terkait dengan pendidikan, pembelajaran, dan bahasa Arab. Berikan komentar dan argumentasi anda tentang topik-topik yang aktual dan menarik untuk dikaji. Semoga pendidikan kita dapat lebih maju dan berkualitas.

Tuesday, November 25, 2008

MADRASAH DAN PESANTREN SEBAGAI INSPIRATOR MODEL PENDIDIKAN UNGGUL

A. Pendahuluan

Krisis multidimensional yang melanda Indonesia telah membuka mata kita terhadap mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dan secara tidak langsung juga merujuk pada mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu sendiri. Meskipun sudah merdeka lebih dari setengah abad, akan tetapi mutu pendidikan Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah dan memprihatinkan. Hal tersebut setidaknya dapat kita ketahui dengan melihat 2 (dua) indikator sekaligus, yaitu indikator makro seperti pencapaian Human Develompement Index (HDI) dan indikator mikro seperti misalnya kemampuan membaca.

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004. Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 47 negara. Sedangkan, Singapura berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas, terungkap bahwa produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya kepercayaan diri, kurang kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter).

Kondisi terpuruknya kualitas SDM di Indonesia ini pada akhirnya adalah karena kualitas pendidikan di Indonesia yang masih rendah. Memang banyak sekolah yang memiliki kualitas bagus, tetapi jika dibandingkan dengan prosentase sekolah yang masih tergolong kurang maju jumlahnya belum sepadan. Apalagi jika melihat pada kualitas pendidikan madrasah yang sebenarnya merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Memang cukup ironis, bahwa sekolah yang telah memberikan banyak andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tersebut kurang mendapatkan perhatian dan penanganan yang baik dari pemerintah. Maka tidak mengherankan jika kemudian muncul kesan di masyarakat bahwa pendidikan madrasah merupakan lembaga pendidikan kelas dua.

Realitas tersebut sungguh sangat kontradiktif dengan semakin banyaknya bermunculan lembaga pendidikan umum yang bercirikan Islam di semua tingkatan. Padahal apabila dikaji secara seksama, sebenarnya konsep pengembangan sekolah-sekolah umum bercirikan Islam tersebut sadar atau tidak, langsung ataupun tidak sebenarnya telah mengadopsi model dan konsep pendidikan madrasah dan pondok pesantren.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka perlu dikaji secara filosofis hakekat pendidikan madrasah dan bagaimana kontribusinya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Makalah ini akan berupaya untuk mengungkapkan dan menganalisis konsep pendidikan madrasah dan bagaimana kontribusinya bagi pengembangan pendidikan di Indonesia, serta berusaha memberikan alternatif solusi guna pengembangan madrasah menjadi lembaga pendidikan yang bermutu.

B. Pembahasan

1. Perkembangan Madrasah

Perkembangan pendidikan Islam identik dengan perkembangan pondok pesantren. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran Islam dilaksanakan di pondok pesantren. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Malik Fadjar, 1998). Dengan konsep dikotomi keilmuan yang masih kuat, maka kualitas pendidikan Islam pada awal perkembangannya di Indonesia menjadi pendidikan kelas dua setelah pendidikan umum. Bahkan hal ini terus berkembang sampai saat ini, meskipun sebenarnya sejak masa Menteri Pendidikan Malik Fajar, telah diupayakan adanya kesetaraan antara pendidikan madrasah dengan pendidikan umum. Jadi madrasah bukan lagi sekolah umum yang bercirikan Islam, sebagaimana konsep yang dilontarkan pada masa Menteri Agama Tarmidzi Taher, tetapi madrasah adalah sama dengan sekolah umum, hanya induknya saja yang berbeda, yaitu Depag dan Diknas.

Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, "diperlukan suatu disain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, sebagaimana dikutip oleh H.A.R.Tilar, (1998 : 245) apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan". Untuk itu, pendidikan Islam perlu didisain untuk menjawab tantangan prubahan zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas sumberdaya insaninya, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta mengkonstruksinya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat tersebut.

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Namun demikian perhatian pemerintah terhadap keberadaan madrasah masih sangat kurang, bahkan menurut Yahya Umar menyebutnya sebagai "forgotten community". Pernyataan Yahya Umar tersebut bagi banyak orang mungkin mengejutkan, namun realitas membenarkannya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management Syatem) Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama, jumlah madrasah (Madrasah Ibtidaiyah/MI (SD), Madrasah Tsanawiyah/MTs (SMP) dan madrasah Aliyah/MA (SMA)) sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk madrasah diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus negeri.

Pada saat ini ada sekitar 15.000 pesantren dan sekitar 40.000 madrasah (termasuk yang ada didalam pesantren) yang tersebar di seluruh Indonesia. Data 2007 menunjukkan bahwa terdapat 23.517 Madrasah Ibtidaiyah, 93% adalah milik swasta. Madrasah Tsanawiyah berjumlah 12.054, 90% adalah milik swasta. Madrasah Aliyah berjumlah 4.687, 86% adalah milik swasta. Sebagai perbandingan, Sekolah Dasar yang dimiliki swasta hanya 6%. Kondisi fisik dan mutu madrasah swasta itu kebanyakan tidak memuaskan (H. Salahuddin Wahid, http://ponpes.tebuireng.net/ blog_view_2).

Kondisi status kelembagaan madrasah ini dapat digunakan untuk membaca kualitas madrasah secara keseluruhan, seperti keadaan guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan sarana pendukung lainnya, karena keberadaan lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah di tanah air pada umumnya sangat tergantung kepada pemerintah. Atas dasar itu, tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa madrasah-madrasah swasta yang berjumlah 32.523 buah mengalami masalah yang paling mendasar yaitu berjuang keras untuk mempertahankan hidup, bahkan sering disebut lâ yamûtu walâ yahya (tidak hidup dan perlu banyak biaya (agar tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia (Tobroni, 2007).

2. Karakteristik Dasar Pendidikan Madrasah dan Problematikanya

Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam (Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986 : 2). Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, (1995 : 26) "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah”.

Menurut Moh Athiya al Abrasyi (1970), tujuan umum pendidikan Islam yang asasi ialah : membentuk akhlak mulia, persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat, persiapan untuk mencari rezeki dan memelihara kemanfaatan, menumbuhkan sifat ilmiah kepada pelajar, menyiapkan pelajar kearah profesionalisme.

Pendidikan madrasah yang berbasis pesantren maupun yang tidak berbasis pesantren pada dasarnya memiliki karakter yang sama dalam beberapa hal, dan berbeda dalam hal yang lain. Namun demikian sebenarnya keduanya memiliki misi yang sama. Untuk itu dalam kajian ini karakteristik yang akan dijelaskan adalah karakteristik madrasah berbasis pesantren yang secara otomatis mencakup madrasah non pesantren.

a. Memiliki muatan kurikulum agama lebih banyak

Pada awalnya madrasah memiliki kurikulum pendidikan agama yang lebih banyak dibandingkan pendidikan umum dengan perbandingan 60 % dibanding 40%. Dengan perbandingan tersebut, menjadikan madrasah lebih kental dengan karakter ke-Islamannya. Namun demikian dengan adanya penyamaan antara madrasah dengan sekolah umum, menjadikan kurikulum madrasah berubah menyesuaikan sekolah umum dengan perbandingan pendidikan agama 30% dan pendidikan umum 70%. Hal ini berarti telah menghilangkan karakteristik madrasah yang selama ini dipertahankan. Apalagi dengan adanya ujian akhir nasional (UAN) yang tidak menggunakan standar tunggal untuk semua jenis sekolah, menjadikan madrasah ikut-ikutan sekolah umum untuk lebih berkonsentrasi pada bidang studi yang diikutkan dalam UAN. Dengan demikian lambat laun pendidikan agama semakin terpinggirkan.

Di sisi lain, justru semakin banyak sekolah umum yang mengembangkan diri menjadi sekolah berkarakter Islam. Hal ini dilakukan dengan menambah materi agama lebih banyak dan menambah jam pelajaran sampai dengan sore hari. Tidak hanya itu, tetapi juga menambah label sekolahnya menjadi sekolah unggulan atau terpadu. Sudah pasti, hal yang demikian semakin menambah terpuruknya kondisi madrasah karena para siswa yang tadinya lebih memilih madrasah karena pendidikan agamanya, sekarang beralih ke sekolah umum yang notabene lebih maju dan tetap mendapatkan pelajaran agama yang banyak.

b. Berbasis masyarakat

Madrasah sejak awal sejarah berdirinya, pada umumnya adalah bagian dari pondok pesantren atau setidaknya didirikan oleh masyarakat muslim. Dengan demikian sumber daya yang dibutuhkan madrasah juga berasal dari masyarakat. Bahkan sejak awal munculnya madrasah sampai dengan tahun 90-an, madrasah seakan-akan lembaga swadaya masyarakat yang tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Kebijakan pemerintah dengan menerapkan MBS (manajemen berbasis sekolah) atau community based school sebenarnya telah dimiliki dan diterapkan oleh madrasah sejak lama. Namun demikian pada saat ini nampaknya peran serta masyarakat dalam menopang penyelenggaraan madrasah sudah mulai berkurang. Munculnya kebijakan pemerintah untuk melarang sekolah menarik pungutan dan menggantinya dengan BOS (bantuan operasional sekolah) atau BOM (bantuan operasional madrasah) telah turut melunturkan karakteristik madrasah sebagai sekolah berbasis masyarakat.

c. Mengembangkan kurikulum berdasarkan kekhasan lembaga

Sebuah madrasah biasanya didirikan dengan kekhasan masing-masing. Ada yang memiliki kekhasan sesuai dengan organisasi keagamaan atau yayasan yang mendirikan, ada pula yang memiliki kekhasan sesuai dengan pondok pesantrennya. Misalnya ada madrasah ma’arif, mu’allimin, dan mu’allimat yang khas dengan NU-nya, atau madrasah Muhammadiyah, Persis, dan sebagainya.

Dengan kekhasan masing-masing tersebut, sudah barang tentu berimbas pada penyusunan kurikulum yang dikembangkan. Masing-masing mengembangkan kurikulum sesuai dengan visi-misi lembaganya masing-masing. Pola inilah yang pada saat ini dikembangkan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

d. Siswa tinggal di asrama/pesantren

Ciri khas madrasah pesantren adalah adanya asrama atau pondok untuk para santri atau siswanya. Model pembelajaran pesantren seperti ini sangat baik untuk pembentukan kepribadian siswa. Setiap hari siswa dibimbing untuk melakukan praktik peribadahan dan kegiatan keagamaan lainnya di samping pemahaman keagamaan yang cukup kuat. Dengan demikian pembelajaran agama tidak hanya dilakukan di kelas tetapi juga di luar kelas selama 24 jam.

Model sekolah berasrama ini kemudian diadopsi secara penuh oleh sekolah-sekolah umum dengan mengembangan sistem boarding school. Ada juga yang mengembangkan pola pesantren tersebut tetapi tidak penuh dengan menambah jam pelajaran sampai sore (full day school) yang ditekankan pada penambahan pemahaman dan pengamalan agama.

Dengan semakin banyaknya sekolah umum yang mengembangkan model madrasah pesantren tersebut, sekali lagi tidak menjadikan madrasah sebagai pelopor pengembangan model sekolah terpadu, tetapi justru tergeser dan tergusur oleh berbagai sekolah terpadu tersebut.

e. Penguasaan bahasa Arab (asing) sangat ditekankan

Ciri khas dari pesantren salaf (klasik) adalah adanya pembelajaran kitab kuning. Hal ini juga mewarnai sistem pembelajaran di madrasah. Hanya saja untuk pembelajaran di madrasah tidak mesti menggunakan kitab kuning. Meskipun demikian pembelajaran bahasa asing khususnya Arab sangat ditekankan. Di samping itu, karena madrasah juga mengikuti kurikulum yang dikembangkan di sekolah umum, maka juga diajarkan bahasa Inggris di madrasah. Dengan demikian, maka madrasah sebenarnya memiliki kelebihan dari sekolah umum di bidang penguasaan bahasa asing.

Dalam konteks sekolah umum pada saat ini, penekanan pada penguasaan bahasa asing tersebut juga dilakukan. Hal ini terutama diterapkan pada sekolah-sekolah yang dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Hanya saja yang membedakan adalah nasib madrasah yang telah mengembangan pembelajaran 2 bahasa asing tersebut tidak seberuntung sekolah-sekolah tertentu yang didesain menjadi SBI. Bahkan sampai saat ini belum ada madrasah yang dikembangkan menjadi SBI.

Hal tersebut sangat ironis kalau melihat potensi madrasah yang sebenarnya sudah cukup siap. Apalagi jika melihat pada anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk penyelenggaraan SBI tersebut, tentu saja madrasah pantas merasa iri. Kebijakan pemerintah mengenai SBI selain didukung secara konstitusi dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 50 ayat (3), dan juga - menurut Satria Dharma -, SBI merupakan proyek prestisius, karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut (http/www.satriadharma.wordpress.com).

3. Alternatif Pengembangan Madrasah

Kondisi sebagian besar madrasah pada saat ini sedang menghadapi persoalan serius. Menurut Yahya Umar, pada saat masih menjabaat dirjend pendidikan Islam Depag, beliau mengatakan bahwa madrasah diibaratkan sebagai mobil tua sarat beban. Kurikulum madrasah adalah 130 % dari kurikulum sekolah karena komposisi kurikulum 70:30 (umum: agama) dan mata pelajaran umum madrasah sama dengan yang ada di sekolah. Apabila dilihat dari missinya, disamping sebagai sekolah juga sebagai lembaga dakwah. Sedangkan apabila dilihat dari kondisi guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan faktor-faktor pendukung lainnya kondisinya serba terbatas, untuk tidak mengatakan sangat memprihatinkan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kondisi madrasah sebagian besar menghadapi siklus negatif atau lingkaran setan tak terpecahkan (unsolved problems): kualitas raw input (siswa, guru, fasilitas) rendah, proses pendidikan tidak efektif, kualitas lulusan rendah, dan kepercayaan stake holder terutama orangtua dan pengguna lulusan rendah.

Kondisi seperti itu membutuhkan penanganan yang serius guna melakukan perubahan menuju ke arah menyehatkan madrasah. Dalam rangka untuk menyehatkan madrasah tersebut, maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana menjadikan karakteristik madrasah yang baik menjadi kekuatan penggerak untuk mendesain madrasah unggulan, dengan tetap mempertahankan/konsisten dengan karakteristiknya sendiri.

Kebijakan pemerintah untuk menyelenggaraan SBI (sekolah bertaraf internasional) mestinya juga dapat dilakukan terhadap madrasah. Jika dilihat dari sisi filosofis, kebijakan tersebut didasarkan pada filsafat eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Aliran filsafat eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif, menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik (Kir Haryana, 2007).

Eksistensialisme berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ), emosional (EQ), dan Spiritual (SQ).

Sedangkan esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional. Dalam mengaktualkan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilainya.

Pengembangan madrasah juga perlu mengacu pada Standar Nasional Pendidikan yang meliputi; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian (Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).

Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka secara konkrit upaya pengembangan madrasah tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

a. Pengembangan manajemen kelembagaan

Madrasah sebagai sebuah organisasi perlu melakukan pengembangan kelembagaan secara terus menerus. Sebuah pengembangan dalam organisasi memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah; terencana dan jangka panjang, berorientasi pada masalah, merefleksikan pendekatan sistem, berorientasi pada tindakan, melibatkan agen perubahan, dan melibatkan prinsip pembelajaran (Gobson, Ivancevich dan Donelly, dalam Abdul Azis Wahab, 2008: 318-319).

Dengan beberapa karakteristik tersebut, maka pengembangan madrasah perlu dilakukan secara sistemik dan sistematis. Misalnya dengan merumuskan kembali visi madrasah tersebut, kemudian merumuskan langkah-langkah yang strategis untuk mencapai misi tersebut. Tentu saja dalam hal ini perlu dipertahankan adanya karakteristik madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menekankan pada aspek pembelajaran agama, memprioritaskan pada pendalaman dan pengamalan ajaran agama dengan akhlakul karimah sebagai indikatornya.

Madrasah mestinya tidak perlu terpengaruh oleh lembaga pendidikan lain yang bermunculan dengan berbagai label unggulannya. Hal ini dikarenakan pada umumnya sebenarnya justru mengadopsi sistem model madrasah secara tidak langsung. Untuk itu yang perlu dikedepankan adalah bagaimana membuat manajemen kelambagaan yang bagus kemudian mengkomunikasikannya kepada masyarakat.

b. Mempertahankan karakter utama madrasah

Berbagai karakteristik madrasah yang telah dikemukakan di atas merupakan kekuatan yang luar biasa dari madrasah. Untuk itu perlu dipertahankan agar karakteristik madrasah tidak luntur. Strategi yang dilakukan untuk mempertahankan karakteristik tersebut adalah dapat dilakukan dengan menggali dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki.

Misalnya, madrasah tetap mempertahankan muatan pendidikan agama 70% kemudian mengembangkan muatan pendidikan umum dari 30% menjadi 60% sesuai dengan kurikulum di sekolah umum. Artinya, muatan keagamaan tidak dikurangi, tetapi dipertahankan dan ditambah dengan muatan umum. Dengan demikian maka karakteristik madrasah tidak akan hilang. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan penambahan waktu (jam pelajaran), sehingga madrasah perlu mengembangkan model pembelajaran menjadi sampai sore hari. Apabila madrasah tersebut telah menjadi bagian dari pesantren, maka untuk mewujudkan hal ini akan lebih mudah. Dengan cara seperti ini, madrasah akan dapat menghasilkan output yang lebih baik dibandingkan sekolah umum yang bercirikan Islam, karena memiliki basis organisasi dan budaya yang lebih kuat.

Madrasah harus berani tampil dengan jati dirinya sendiri, tidak perlu mengorbankan materi agama untuk menambah materi umum hanya demi mengejar target pada UAN.

c. Peningkatan kualitas SDM

Untuk membentuk suatu organisasi yang kuat, maka dibutuhkan SDM yang berkualitas dan profesional. Demikian pula dengan SDM madrasah yang selama ini dijadikan alasan rendahnya mutu pendidikan. Alasan yang sering dikemukakan adalah sedikitnya guru yang PNS, pendidikan relatif rendah, dan kurang profesional. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan mutu SDM.

Ricky W. Griffin, yang dikutip oleh Fred C. Lunenburg dan Allan C. Ornstein (2004: 595) mengemukakan berbagai alternatif teknik pengembanan profesionalisme. Di antara teknik tersebut yang mungkin relevan dan dapat dilakukan adalah; dengan pelatihan, on the job, simulasi, diskusi kasus, dan role playing.

Banyak aspek dari SDM madrasah yang dapat dikembangkan. Dari aspek manajemen, dapat dikembangkan kemampuan manajerialnya. Dari aspek guru dapat dikembangkan kemampuan pedagogisnya yang secara umum dapat dikaitkan dengan kemampuan dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Dari aspek karyawan dapat dikembangkan kemampuan kinerja sesuai dengan job deskripsinya.

Proses pengembangan tersebut perlu dilakukan secara bertahap dan serius. Memang untuk melakukan suatu perubahan tidaklah mudah, karena pasti akan berhadapan dengan reaksi penolakan. Menurut teori medan kekuatan dari Kurt Lewin, sebagaimana dikutip oleh Nanang Fattah (2008: 40), bahwa setiap perilaku merupakan hasil keseimbangan antara kekuatan pendorong dengan kekuatan penolak. Individu mengalami dua hambatan utama untuk melakukan perubahan, yaitu tidak bersedia mengubah perilaku yang sudah mapan, dan perubahan itu hanya dalam waktu singkat (kembali ke pola perilaku lama). Untuk itu dibutuhkan tahapan, yaitu tahap pencairan, tahap pengubahan, dan tahap pembekuan.

C. Penutup

Dari pembahasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, kondisi madrasah pada saat ini memang masih mengalami ketertinggalan jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum. Bahkan madrasah kian terpinggirkan dengan semakin banyaknya sekolah umum yang bercirikan Islam berkembang secara lebih cepat. Sebuah hal yang sangat ironis manakala model pendidikan madrasah yang sudah cukup ideal tersebut tidak dapat dikembangkan dan diberdayakan menjadi sebuah desain madrasah yang unggul, tetapi justru diadopsi oleh sekolah umum dan dapat dikembangkan menjadi sekolah yang bermutu.

Untuk itu madrasah semestinya tidak perlu terpengaruh untuk mengikuti pola pengembangan sekolah umum yang dianggap lebih baik, sebaliknya madrasah justru perlu mempertahankan karakteristiknya dan mengembangkannya. Dalam hal ini, yang dibutuhkan madrasah sebenarnya adalah penguatan dan pengembangan kelembagaan, peningkatan kualitas SDM, dan mengembalikan ruh madrasah sebagai sekolah berbasis masyarakat dan berkarakteristik keagamaan yang kuat. Dengan demikian madrasah tidak hanya akan mampu bersaing dengan sekolah umum yang bercirikan Islam, tetapi justru akan menjadi sekolah Islam yang memiliki berkualitas dengan penguasaan pelajaran umum yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis Wahab, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan; Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2008.

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1995.

Al-Abrasyi, Moh. Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang. 1970.

Fadjar, M.A. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1998.

Fred C. Lunenburg, Allac C. Ornstein, Educational Administration; Concept and Practices, Belmont: Wadsworth/Thomson Learning, 2004.

H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I, 1998.

H. Salahuddin Wahid, Reorientasi Makna Pendidikan Pesantren Bagi Pembentukan Karakter Keilmuan Dan Keislaman Santri. http://ponpes.tebuireng.net/blog_view_2, tanggal 16-8-2008

Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cetakan kesembilan, 2008.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Syed Sajjad Husaian dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Education"., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah, Bandung, 1986.

Tobroni, Percepatan Peningkatan Mutu Madrasah, artikel. 2007.